Obrolan kemarin menjadi semacam kode yang berulang.
Pagi, obrolannya bersama Alfons, teman dari Belanda yang sekarang tinggal di Filipina. Dia datang mampir ke kantorku, tempat dia pernah bekerja juga.
Sekarang Alfons tinggal di pedesaan Filipina. Sesekali dia masih ke Indonesia untuk mendampingi perusahaan atau lembaga yang mendukung petani kecil terutama di komoditas kakao. Begitu pula perjalanannya ke Bali kali ini.
Kami bertemu singkat. Tak sampai 15 menit. Tapi, teman yang jarang senyum ini bercerita penuh antusias tentang kegiatan barunya di Filipina. Teman bule ini sekarang beternak kambing.
Bule ternak kambing? Iya. Pake banget.
Dari ponsel, dia perlihatkan foto-foto kambingnya di Filipina di sana. Seru sekali sepertinya. Bersama pacarnya di Filipina sana, dia beternak kambing karena menurutnya, itu bagus untuk dukungan terhadap warga desa. Tak cuma untuk peternaknya.
Obrolan dengan Alfons selesai meninggalkan ingatan tentang masa kecil dulu, angon kambing sepulang sekolah.
Malamnya, aku ngobrol dengan Mas Yanuar. Mas satu ini sudah jadi pejabat setingkat eselon satu di kantor Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Setelah belasan tahun jadi dosen di Universitas Manchester Inggris, profesor ini kembali ke negerinya.
Kami ngobrol di Laota, tempat makan favoritnya tiap kali dia ke Nusa Dua, Bali.
Seperti biasa, banyak hal asyik dari obrolan selama sekitar dua jam ini. Tapi, yang paling asyik bagiku adalah soal rumah baru yang sedang dia bangun di desa, di Yogyakarta.
Selain betapa asyiknya tinggal di desa, meskipun harus bolak-balik Yogya – Jakarta, adalah asyiknya beternak ayam. Aku tidak tahu serius apa tidak sih soal ini. Tapi, dari cerita Mas Yan, ini memang serius. Dia beternak ayam di kampung.
Jadi, begitulah kedua kode itu berjalan. Alfons dengan kambingnya. Mas Yan dengan ayamnya.
Aku kemudian kepikiran ide akhir-akhir ini, kembali ke desa untuk bekerja saja di sana. Menetap di kampung, belajar bertani organik sambil beternak kambing, ayam, atau apalah di sana.
Sejalan dengan usia, target hidup memang akan berubah dengan sendirinya.
Dulu, ketika aku masih SD atau SMP, aku membayangkan hidupku seperti yang aku jalani sekarang. Aku bukan tipe orang ambisius. Jadi tak pernah punya cita-cita jadi pejabat atau orang hebat. Lebih senang punya keluarga kecil bahagia dan banyak teman.
So far, menurutku apa yang aku bayangkan sejak kecil sudah tercapai. Tinggal dengan keluarga kecil yang menyenangkan. Berkecukupan. Kerja seperlunya. Banyak teman. Sesekali berbagi dan jalan-jalan.
Cuma kok ya kok mikir tiap kali baca berita tentang orang-orang sederhana yang bisa mengubah tanah kelahirannya. Orang-orang yang bekerja dalam senyap tapi mampu memperbaiki komunitasnya.
Aku bayangkan, suatu saat mungkin bisa begitu: kembali ke tanah kelahiran, membangun sanggar belajar alternatif, sambil bertani di kebun sendiri. Ah, betapa menyenangkannya.. ?
Leave a Reply