Catatan (lebih dari) sebulan kemudian setelah Minikino Film Week 4.
Kok ulasannya telat banget, sih? Begitulah. Pertama karena pas pelaksanaan Minikino Film Week (MFW) 4 waktu itu sedang menduda. Tiga minggu jadi orangtua tunggal.
Dan, ternyata, jadi orangtua tunggal itu merepotkan dan melelahkan juga. Urusan domestik rumah tangga lebih pelik dari mengurus negara. Hehehe..
Kedua, seperti biasa, karena banyak pekerjaan. MFW4 itu barengan dengan hajatan besar Pertemuan Tahunan International Mother Fucker, eh, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia di Bali pada 8-14 Oktober 2018.
Kemudian susul menyusul agenda-agenda lain setelahnya. Intinya, sibuklah. Karena pengecer karya memang harus selalu kelihatan sibuk. Biar lebih meyakinkan dan tidak terlihat sebagai pengangguran.
Alasan terakhir, pemalas memang selalu punya alasan untuk menunda pekerjaan. Jadi ya, dimaklumi saja. Tidak usah dipahami.
Oke, cukup basa-basi dan omong kosongnya. Mari kembali ke MFW tahun ini.
Pada MFW keempat ini, aku mendapat kehormatan untuk menjadi juri kompetisi film pendek. Karena itu pada Juli 2018, tiga bulan sebelum pelaksanaan festival, aku sudah mendapatkan kesempatan nonton film-film pendek yang masuk nominasi pemenang.
Ini kegiatan menyenangkan karena bisa menikmati dan menilai 18 film pendek dari 11 negara. Filmnya berdurasi antara 3 – 20 menit dengan genre beragam: anak-anak, fiksi, dokumenter, animasi, dan eksperimental.
Selain sebagai juri, aku juga ditodong memandu salah satu diskusi MFW 4. Pembatalan kesediaan memandu diskusi lain karena tabrakan jadwal dengan pekerjaan ternyata justru jadi berkah. Sesi yang justru aku moderatori adalah diskusi bareng nama terkemuka dalam sinema Indonesia, Nurkurniati Aisyah Dewi.
HEH!! Who the hell is Nurkurniati Aisyah Dewi!? Kenal saja tidak kok bilang nama terkemuka!
Oke. Nurkurniati Aisyah Dewi adalah nama asli Nia Dinata. Ini juga saya baru tahu dari Wikipedia saat membuat tulisan ini. Nama Nia Dinata tentu terkemuka di antara para sineas.
Sebagai produser, perempuan yang juga lebih akrab dipanggil Teh Nia ini, membuat film-film terkenal, seperti Cau-ba-kan (2002), Arisan (2003) dan Berbagi Suami (2006). Ketiga film itu menyajikan cerita-cerita tentang topik tak biasa, misalnya perempuan China di Indonesia, homoseksualitas, dan kontroversi poligami.
Film Keluarga
MFW4 kali ini juga memutar film-film Nia Dinata dengan tema Keluarga ala Indonesia. Namun, ini bukan keluarga-keluarga biasa.
Ada tujuh film pendek berdurasi antara 15-20 menit diputar pada awal Oktober lalu itu. Di antaranya Elinah, Har, Perfect P, Sleep Tight Maria, dan Kebaya Pengantin. Hampir semua film itu diproduksi Kalyana Shira Film, rumah produksi yang didirikan Teh Nia.
Salah satu lokasi pemutarannya di Rumah Sanur, tempat kumpul beragam komunitas di Sanur. Sekitar 30 orang menonton tujuh film pendek itu lalu dilanjut ngobrol santai dengan Teh Nia. Penonton duduk di kursi menyimak dengan manis layaknya mahasiswa baru pertama kali kuliah sementara pembicara dan moderatornya duduk di bean bag, santai kayak di pantai.
Aku sendiri kelewat satu film pertama, Elinah. Namun, masih ada enam film lain yang menarik untuk disimak. Film-film pendek ini bercerita tentang keluarga-keluarga tak biasa.
Film Har, misalnya, menggunakan masa cerita 1997, tahun terakhir Orde Baru. Orang-orang duduk di beranda rumah ngobrol dalam bahasa Jawa perihal apakah Soeharto akan bersedia diganti atau tidak.
Salah satu di antara bapak-bapak yang ngobrol itu adalah bapaknya si Har, anak SD yang ditinggal ibunya menjadi buruh migran. Film ini membongkar paradigma kuno bahwa bapak adalah kepala keluarga dan harus menjadi penanggung jawab sumber dana.
Sebaliknya, film Har menegaskan bapak juga bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, termasuk memasak, mengantar anak sekolah, dan semacamnya.
Teh Nia memang senang dengan narasi melawan kemapanan pandangan arus utama. Itu pula yang dia sampaikan Teh Nia lewat Perfect P. Film ini menceritakan definisi keluarga di mata seorang remaja pria. Dalam pandangan arus utama ala Indonesia, keluarga adalah ibu, bapak, dan anak-anak. Namun, dalam film ini, keluarga bagi Putra, si tokoh utama adalah bapak dan bapak. Dia memang anak (angkat?) dari pasangan gay.
Hal tak biasa, tetapi harus mulai dibiasakan. Bahwa keluarga bisa punya banyak rupa. Bisa punya banyak cara.
Film lain yang menarik adalah Kebaya Pengantin, kisah asmara laki-laki dengan waria. Si waria adalah penata busana yang mengantarkan pacarnya pulang kampung untuk kawin dengan perempuan lain. Kebaya buatan si waria dipakai perempuan itu.
Ada tragedi. Ada ironi. Semacam pesan bahwa budaya kita masih terikat pada nilai-nilai biner, laki-laki vs perempuan. Tidak mungkin ada pernikahan antara laki-laki dan waria. Sesuatu yang justru ingin digugat oleh Teh Nia.
Timur Tengah
Melalui film-filmnya, Teh Nia menggugat kemapanan budaya itu. Seolah menegaskan, ada lho nilai-nilai berbeda. Ada lho cerita-cerita “tabu” diungkap meskipun praktiknya itu terjadi sehari-hari di dunia nyata.
Dia memang melakukannya dengan sengaja.
Niatan semacam itu justru muncul berdasarkan pengalaman pribadinya. Saat remaja, dia pernah tinggal di Timur Tengah. Kalau tak salah sih di Saudi Arabia.
[Mmmm, maaf ya, Mbak jika salah. Aku tidak mencatat detail diskusi kita karena lebih khusyuk mendengar]Selama di sana, dia merasakan hal sangat berbeda dibandingkan pengalaman di Indonesia. Salah satunya karena sebagai perempuan, dia sangat dibatasi aktivitasnya. Tidak bebas pergi sendiri.
Namun, pembatasan berlebihan justru melahirkan pemberontakan. “Pengalaman hidup selama di Timur Tengah justru membuat saya ingin membuat film-film yang melawan pembatasan semacam itu,” kata Teh Nia saat itu.
Menurut Teh Nia, melalui film-film semacam itu, dia berharap pemirsa filmnya akan makin terbuka pada mereka-mereka yang dianggap berbeda, terutama kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mereka yang dianggap liyan oleh arus utama.
Maka, lahirlah film-film bertema keluarga tak biasa dari Teh Nia. Cerita-cerita tentang mereka yang selama ini sering mendapatkan stigma dan diskrminasi hanya karena mereka berbeda.
Di tangan Teh Nia, film tak sekadar media untuk bercerita dan menghibur semata, tetapi alat untuk membela mereka yang selama ini kurang mendapat tempat untuk bersuara.
Leave a Reply