Perlawanan Snowden terhadap Saudara Tua

0 , Permalink 0

snowden-movie

Perempuan itu membuka pakaiannya satu per satu.

Jilbab, baju, celana, lalu terakhir dia hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Perempuan itu sedang berada di kamar tertutup sebuah hotel di Jenewa, Swiss.

Namun, tanpa dia sadari, dua lelaki melihat semua proses itu.

Mereka, Edward Snowden dan Gabriel Sol, mengawasi perempuan muda dari Timur Tengah itu lewat laptop. Kamera laptop yang terbuka dan mengarah ke perempuan tersebut membuat Snowden dan Sol bisa dengan mudah melihat semua kejadian tersebut.

Blip! Laptop ditutup. Adegan itu hilang.

Snowden dan Sol tidak mengenal perempuan itu. Mereka memilihnya secara acak dari sebuah nama, Marwan a-Kirmani, seorang bankir yang tinggal di Amerika. Melalui program yang dibuat Agen Keamanan Nasional (NSA), keduanya bisa dengan mudah menelusuri semua data-data pribadi target, si Marwan.

Dari Marwan, mereka coba menulusuri nama-nama lain. Semuanya dengan mudah terbuka di depan laptop mereka. Snowden dan Sol yang bekerja untuk NSA bahkan tidak tahu sebelumnya bahwa program itu begitu jauh masuk ke ruang-ruang privat.

Snowden yang konservatif dan sinis terhadap kaum liberal mendadak goyah saat itu juga. Sebagai anak muda jenius di bidang program komputer, dia kemudian menyadari sesuatu yang salah, campur tangan negara terlalu jauh ke wilayah pribadi warganya.

NSA sebagai bagian dari negara, menjadi semacam Saudara Tua alias Big Brother dalam novel 1984 karya George Orwel. Dia mengawasi semua orang. Snowden dan Sol menjadi bagian dari pengawasan massal (mass surveillance) itu.

Pengawasan massal seolah-olah narasi yang begitu besar. Tapi, film Snowden membuat narasi ini begitu dekat dengan keseharian warga.

Itulah kekuatan utama film tentang kisah hidup Edward Snowden, mantan pegawai NSA yang membocorkan proyek rahasia NSA tersebut.

Oliver Stone, sang sutradara berhasil membawa isu pengawasan massal ini begitu mengganggu kehidupan pribadi kita. Dengan alur cerita maju mundur (flash back), Stone menunjukkan fakta-fakta sederhana betapa pengawasan itu masuk begitu dalam ke kehidupan setiap pengguna Internet dan perangkat yang terhubung.

Perempuan muda yang (hampir) telanjang tanpa sadar bahwa dia sedang diawasi hanya salah satu korbannya. Korban lainnya adalah semua pengguna Internet, termasuk kita semua.

Di film versi tanpa sensornya bahkan ada adegan Snowden sedang bercinta dengan pacarnya, seorang geek dan fotografer amatir. Lalu mereka dipantau lewat kamera laptop yang tanpa sadar dia biarkan terbuka.

Kondisi itulah yang mendorong Snowden untuk mengkhianati negaranya dan memilih berada di pihak pembela kebebasan pribadi.

Film Snowden diadaptasi dari buku berjudul mirip, The Snowden Files karya Luke Harding. Sebagian adegan terutama saat Snowden di Hongkong juga sangat mirip dengan film Citizen Four yang dibuat Laura Poitras, pembuat film yang bersama Glenn Greenwald, jurnalis lepas, mewawancarai Snowden pertama kali.

Namun, seperti disebut di awal, film ini adalah dramatisasi dari kisah hidup Snowden, peniup pluit sekaligus ikon perjuangan terhadap hak-hak privasi di dunia maya tersebut.

Ada beberapa tambahan cerita dari buku yang sudah selesai aku baca akhir tahun lalu ini. Jika buku The Snowden Files dan film Citizen Four fokus pada perjuangan Snowden membocorkan file hingga pelariannya, maka film ini banyak mengisahkan hidup Snowden secara pribadi. Mulai dari kegagalannya masuk tentara, proses masuk CIA lalu keluar, hingga kisah asmara yang agak detail.

Tapi, semua kisah pribadi itu menjadi relevan ketika dipotret dari perspektif lebih luas, betapa kisah-kisah pribadi itu juga sudah diawasi sedemikian rupa oleh NSA.

Tragisnya, kisah pribadi yang diawasi itu tidak hanya milik perempuan muda dari Timur Tengah dan Snowden tapi juga kita semua. Kita hanya mungkin tidak pernah menyadarinya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *