Perlawanan Abadi Perempuan Bernama Kartini

2 , Permalink 0

Perempuan di sebelah kiri menangis sesenggukan.

Rasanya lebih dari tiga kali sepanjang kami menonton film Kartini. Aku sendiri, mbrebes mili beberapa kali.

“Untungnya tidak sampai nangis gerong-gerong,” kata perempun itu ketika kami sudah di rumah dan lanjut ngobrol tentang film Kartini. Kami habis nonton bareng film itu di Level 21 Jl Teuku Umar, bioskop baru di Denpasar.

Sejak baru masuk gedung bioskop yang memutar film Kartini, sudah terasa bedanya. Ruangan hampir penuh. Kami yang tiap nonton berdua selalu duduk di paling belakang, sekarang kebagian kursi urutan kedua dari depan.

Itu pun paling pinggir. Jadi, tidak terlalu nyaman.

Untungnya film karya sutradara Hanung Bramantyo itu memang keren.

Kartini tentu saja menceritakan perjalanan pejuang perempuan dari Jepara, Raden Ajeng Kartini. Fokus film pada kisahnya ketika masih muda, sebelum menikah. Masa di mana dia mulai dipingit, membaca buku-buku untuk mengenal dunia lebih luas, dan menulis di jurnal ataupun surat untuk sahabat penanya di Belanda.

Satu-satunya karya tentang Kartini yang pernah aku baca hanya novel karya Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja. Ternyata, buku ini yang memang membentuk fokus dan sudut pandang Hanung dalam film tentang Kartini.

Panteslah cerita film ini keren. Tidak cuma ceritanya tapi juga Mbak Dian Sastro-nya. Hehehe..

Gambar-gambar suasana Jepara zaman bahuela juga asyik. Daerah pedesaan pantai utara Jawa Tengah yang agak kering tapi punya laut. Film ini mengemasnya cantik, secantik pemain utamanya.

Selebihnya, film ini menceritakan bahwa perjalanan hidup Kartini adalah perlawanan.

Melawan saat dia dipisahkan dari ibu kandungnya, Ngasirah sebagai korban pranata Jawa (Jepara) yang tak memperbolehkan istri tua tidur bersama anaknya ketika sudah ada istri muda.

Melawan ketika sebagai perempuan Kartini harus tunduk pada kuasa laki-laki. Melawan ketika sebagai bangsawan Kartini harus takluk pada unggah-ungguh kaum ningrat.

Melawan ketika bangsanya sendiri yang mengungkung sesama manusia agar terkurung dalam sangkar besar bernama budaya.

Kartini tidak sedang melawan Belanda, penjajah kolonial yang menguasai Indonesia lebih dari dua abad lamanya. Dia melawan bangsanya sendiri, kakaknya sesama priyayi, ibu tirinya yang penuh ambisi, juga budaya Jawa yang sangat patriarki.

Akhir film ini kemudian tetap menunjukkan perlawanan Kartini ketika akhirnya tetap “kalah” oleh sistem perkawinan Jawa pada saat itu. Kartini menawarkan sejumlah syarat pada saat dia harus menyerah menjadi istri kedua, meskipun bukan poligami karena istri pertama yang juga pengagum Kartini sudah meninggal.

Tawaran-tawaran itu misalnya dia tak mau membasuh kaki suaminya, sesuatu yang lazim dilakukan para istri. Dia meminta agar Ngasirah, ibu kandungnya, tidak lagi tinggal di “rumah belakang” sebagai simbol kekalahan oleh istri muda.

Dia juga menuntut agar boleh membuat pendidikan bagi para perempuan dan anak-anak miskin. Kartini dalam film ini mampu menggambarkan bagaimana perjuangannya tak hanya soal melawan budaya tapi juga kebodohan.

Perjuangan Kartini, meskipun sudah berlalu ratusan tahun silam, tetap relevan untuk situasi saat ini. Perjuangan dan pelawanan Kartini tetap abadi.

Kerennya, Kartini melawan dengan tulisan.

Inilah yang seharusnya mulai dikampanyekan. Memperingati Hari Kartini, tiap 21 April, seharusnya dilakukan dengan menulis surat, artikel, atau apapun media bereskpresi lainnya. Bukan dengan kebaya atau pakaian adat Nusantara.

Itu justru mengkhianati semangat Kartini.

2 Comments
  • kaos 3second
    April 25, 2017

    Film Kartini sangat top, menginspirasi sekali. berkali kali nonton di Bioskop, film ini punya bobot tersendiri..
    terima kasih bang Anton, mengulas kisah Kartini. Kisah ini perlu disebarluuaskan

  • pandebaik
    April 28, 2017

    Donlot ah…
    tapi keknya di awal awal ada ketertarikan pada mbak Dian ya Mas ? :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *