“2012” bisa jadi adalah film terlaris saat ini di Indonesia ini. Di Bandung, menurut koran Pikiran Rakyat, dalam waktu lima hari saja penonton film ini sudah mencapai 90 ribu orang. Sebagai perbandingan, jumlah penonton film laris lain, Harry Potter and The Half-Blood Prince ditonton 77 ribu orang dan Transformers: Revenge of the Fallen 69 ribu penonton.
Di Bali, film ini juga mengundang antrian panjang. Beberapa teman di Bali yang mau nonton film ini terpaksa gigit jari tak jadi nonton karena tak kebagian tiket. Aku baca di Radar Bali, antrian sepanjang itu memang belum pernah terjadi sebelumnya di bioskop-bioskop di Bali.
Faktanya, 2012 jadi film terlaris saat ini. Film karya Roland Emerich, yang sebelumnya sudah membuat film sejenis seperti Independence Day dan The Day After Tomorrow, itu pun jadi pembahasan di banyak koran dan blog. Film 2012 sendiri berkisah tentang kiamat yang terjadi pada tahun 2012 berdasarkan ramalan suku Maya, Indian.
Ada beberapa penyebab laris manisnya film ini. Jauh-jauh hari, media sudah menulis tentang film ini. Di Kompas misalnya aku sudah baca beberapa tentang ramalan kiamat ini.
Nah, menurutku, penyebab lain larisnya film ini adalah kecelakaan yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan film ini. Kecelakaan ini berkali-kali terjadi dan selalu melahirkan kontroversi.
Kecelakaan itu berawal dari MUI Malang. “Film itu tidak pantas untuk ditayangkan, karena dapat mempengaruhi pemikiran orang,” kata Ketua MUI Kabupaten Malang KH Mahmud Zubaidi kepada wartawan saat ditemui di rumahnya (16/11/2009).
Meski menyatakan tidak pantas, Ketua MUI Malang tersebut mengaku belum menonton film tersebut. Jadi dia menyatakan tak pantas untuk sesuatu yang belum diketahuinya secara pasti. Media juga dengan cepat menjadikan pernyataan ini sebagai sebuah bola: MUI Melarang Film 2012.
Pemberitaan wartawan, yang menurutku hanya tafsir dari pernyataan Ketua MUI Malang ini pun, ditambah dengan berita larangan serupa oleh MUI di berbagai kota: Solo, Kalimantan Selatan, Situbondo, dan lain-lain.
Inilah kecelakaan itu. Pelakunya adalah wartawan. Korbannya adalah MUI. Kalau bukan karena permainan wartawan, aku tak yakin MUI akan mengeluarkan pernyataan yang berbuntut pada kontroversi ini.
Sekilas aku lihat begini. MUI pada awalnya tidak tahu tentang film ini. Lalu wartawan, yang pertama sepertinya di Malang, bertanya pada Ketua MUI setempat. Aku lihat di salah satu TV misalnya, Ketua MUI ini memberikan pernyataan ketika sedang berdiri di depan rumah. Dia seperti ditodong untuk memberikan pernyataan. Jadi bukan dia yang mengundang wartawan untuk menyampaikan larangan.
Ketua MUI ini juga tidak hati-hati. Dia mau saja dipermainkan oleh wartawan. Dia memberikan pernyataan yang dengan mudah disalahtafsirkan wartawan meski dia belum melihat film ini. Muncullah kemudian di media seolah-olah MUI memberikan fatwa bahwa mereka melarang orang untuk menonton film ini.
Maka meski MUI Pusat sendiri sudah menyatakan bahwa mereka tak pernah melarang, bahkan MUI Jombang juga mempersilakan orang untuk menonton film ini dengan catatan tidak terpengaruh, tetap saja berita larangan itu tetap saja muncul.
Hasilnya, masyarakat jadi penasaran. Maka antrian panjang untuk nonton film ini pun terjadi. Kontroversi ini semakin membuat banyak orang ingin menonton film tersebut.
Ini hal yang lumrah. Semakin sesuatu itu dilarang, maka makin banyak orang ingin melakukannya. Apalagi ini di wilayah yang sangat abu-abu, bukan wilayah pasti. Dan pada beberapa kasus, MUI yang melarang justru jadi pihak yang melahirkan ketertarikan banyak orang tersebut.
Emerich sepertinya harus berterima kasih pada MUI, juga wartawan, karena kecelakaan ini. Dan, untuk MUI, besok-besok sebaiknya lebih hati-hati pada jebakan wartawan ini.
Foto diambil dari Digital Marketing.
Leave a Reply