Tulisan itu aku buat di langit-langit kamar.
Sebuah ayat dalam Al-Quran. Tulisan dalam bahasa Arab itu bermakna begini: sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Aku menuliskannya di langit-langit kamar sebagai pengingat. Bahwa, jika mau berubah, jangan hanya berdoa dan pasrah. Sebab, Tuhan yang Maha Kuasa saja tidak akan mengubah begitu saja kecuali kita yang berusaha.
Maka, berusahalah!
Sebagai anak yang lahir dan besar di keluarga miskin, aku tahu tidak enaknya hidup serba kekurangan. Makan kadang hanya dengan garam dicampur minyak goreng. Tidak bisa beli sepeda ketika teman-teman lain memilikinya. Rumah hanya berdinding gedek ketika rumah semua tetangga sudah ditembok.
Hidup miskin itu tidak enak. Dan, aku ingin mengubahnya.
Pesan Al-Quran dari surat Ar-Ra’d ayat 11 itu menjadi motivasi besar. Bahwa aku harus berusaha sendiri jika mau berubah. Jika mau bangkit, berusahalah. Tak cukup hanya berdoa.
Dengan pesan tertulis di langit-langit kamar, aku selalu melihatnya. Memberikan motivasi pada si anak miskin dengan cita-cita sederhana itu, hidup lebih baik.
Jauh-jauh zaman sebelum ada motivator mahal seperti Mario Teguh, Al-Quran sudah menjadi pemberi semangat terbesar bagiku.
Tiga puluh tahun berselang, aku merasa hidup sudah berubah. Hingga saat ini, ayat itu masih berperan besar memberi motivasi dan kekuatan ketika aku sendiri merasa tingkat kesalehanku dalam beragama sudah jauh berkurang.
Ingatan tentang ayat Al-Quran pemberi semangat itu selalu muncul tiap kali ada pernyataan yang menurutku tidak tepat tentang kitab suci umat Islam itu. Ada yang, misalnya, menyebut Al-Quran menebarkan kebencian. Sumber terorisme. Dan semacamnya.
Pemicu pagi ini aku membaca status teman, seorang dokter senior dan profesor, di Facebook. “Kok semakin belajar agama, semakin baca buku suci jadi semakin jahat,” tulisnya.
Nyess! Rasanya kok ngilu membacanya. Dia memang tidak menyebut kitab suci apa yang dia maksud. Tapi, apapun kitab sucinya, aku yakin kitab suci itu pasti mengajarkan sesuatu yang baik.
Pengalaman masa kecil dengan ayat pemberi semangat hanyalah salah satu contoh. Banyak hal lain yang lebih menarik untuk dikaji dalam Al-Quran, bukan hanya soal menyebarkan kebencian.
Karena Al-Quran, aku tahu perlunya membaca. Karena Al-Quran, aku paham pentingnya membela kaum papa. Tentang perlunya berbagi. Tentang perlunya menghargai toleransi.
Tentang, ayat-ayat yang dianggap menyebarkan kebencian, aku tidak pernah memperdulikannya. Kalau toh ada, aku memilih untuk mengabaikannya. Tak ada gunanya beragama jika kepalamu hanya dipenuhi kebencian.
Aku sendiri bukan santri. Belajar agama hanya sampai SMA. Selebihnya, aku belajar agama dalam kehidupan. Saat ini, agama bukan hal paling penting dalam hidup bagiku. Namun, aku pernah membaca bahwa dalam Al-Quran juga banyak sekali pelajaran tidak hanya tentang akhlak atau etika tapi juga teknologi.
Karena itulah menurutku tidak adil jika melihat Al-Quran atau kitab suci apapun itu hanya sebagai kitab dengan muatan kebencian. Jika isinya hanya kebencian, sudah sejak lama aku sudah jadi pembunuh. Begitu pula dengan lebih dari 1,5 miliar muslim lain di Bumi.
Bahwa ada ayat yang dianggap tidak masuk akal, rasanya semua agama punya sisi tidak rasional. Bahwa ada ayat-ayat menebar kebencian, itu harus dikritik dan ditafsirkan ulang. Bahwa ada orang-orang Islam penyebar kebencian, ya memang ada. Bahwa ada teroris ya membunuh orang lain dengan dalih Al-Quran, ya memang ada. Itu fakta dan harus diaku sebagai benalu dalam Islam.
Tapi, jelas tidak adil kalau hanya karena satu dua ayat, satu dua pengikut lalu gebyah uyah menghakimi semuanya.
Baca dan pelajari sajalah agama sendiri. Semua agama, dan mungkin kitab sucinya, punya kontradiksi.
Lalu, apakah dengan begitu kita hanya fokus pada kontradiksi itu. Jika kita hanya fokus pada ayat-ayat yang dianggap cacat dan melupakan kebaikan-kebaikan lain dalam Al-Quran, maka kita ya sama saja dengan mereka yang hanya fokus pada kebencian.
Kita sama dengan mereka, cuma beda posisi saja.
Leave a Reply