Satu Akar dengan Aneka Camilan

0 , , Permalink 0

Tak hanya tradisi, camilan kami pun sama.

Anggap saja tulisan ini oleh-oleh usai Lebaran di kampung halaman, Lamongan pada 16 – 21 Agustus kemarin. Setelah sebelumnya menulis soal tradisi mengantarkan makanan untuk keluarga yang lebih tua, biasa disebut ater weweh atau memunjung, kali ini soal banyaknya makanan yang sama antara Lamongan dan Bali.

Kenapa susah-susah mencari persamaan? Biar asyik saja. Biar orang makin tahu bahwa dua identitas ini, Jawa dan Bali memang satu akar. Juga biar orang gak sibuk mencari perbedaan untuk dibenturkan.

Kali ini, persamaannya amat sederhana, kue alias camilan.

Tiap kali Lebaran di Lamongan, dan mungkin juga sebagian besar daerah di Jawa Timur, ada kue-kue “tradisional” yang selalu ada. Kue-kue ini disajikan pada saat Lebaran. Biasanya pas hari H Lebaran dan setelahnya, para tetangga, keluarga, ataupun teman akan berkunjung satu sama lain. Nah, kue-kue ini yang biasanya disajikan.

Kue paling khas tentu rengginang. Bahannya dari ketan. Rasanya gurih. Pembuatan kue ini dengan cara dijemur untuk kemudian digoreng. Mirip krupuk tapi lebih kasar. Di daerah asalku, rengginang selalu ada di tiap Lebaran. Penyajiannya dimasukkan ke dalam toples.

Di Bali, kue ini setahuku disebut jaja begina. Kue ini juga menjadi salah satu perlengkapan saat upacara seperti odalan atau Galungan. Tiap Galungan, aku selalu mendapat jootan atau pemberian dari tetangga dengan jaja begina merupakan salah satunya.

Kue lain yang selalu saat Lebaran adalah gemblong. Kalau di Bali disebut jaja uli. Teksturnya lembut dan lengket. Bahannya dari ketan yang dikukus dan kemudian ditumbuk. Rasanya gurih.

Di kampung asalku, jajan ini tak hanya menjadi makanan saat Lebaran atau ketika ada acara seperti kawinan. Dia juga menjadi kue penting untuk melamar laki-laki. Oh ya, Lamongan memang punya tradisi pihak perempuan yang melamar laki-laki, bukan sebaliknya laki-laki melamar perempuan. Salah satu bawaan ketika melamar ini adalah gemblong dan wingko.

Filosofinya, setahuku, agar perkawinan mereka lengket seperti gemblong dan manis layaknya wingko.

Namun, cara makan gemblong di Lamongan ini agak berbeda dengan Bali ataupun Betawi. Di Lamogan, gemblong dimakan tanpa campuran apa pun. Kalau di Bali ataupun Betawi, jajan gurih ini akan dimakan bersama dengan tape ketan yang rasanya agak kecut dan manis.

Pas kemarin mudik sih salah satu paman bilang kalau dia sudah belajar cara makan gemblong dengan campuran air tape ini. “Ternyata enak banget. Gitu aja kok harus ada yang ngajari dulu,” katanya lalu ketawa.

Masih banyak kue Lebaran lain yang juga biasa ada di Bali, dan kadang jadi perlengkapan sesaji saat upacara. Misalnya jumbret atau jumbrek yang di Bali disebut cerorot. Juga katul atau nagasari, kue matahari, dan lain-lain.

Kita boleh berbeda suku bangsa, tapi camilan toh tetap sama. 🙂

Foto dari My Opera.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *