Tak sampai lima menit, urusan imigrasi selesai.
Lega. Aku pikir sudah selesai. Ternyata belum. Urusan lebih panjang ternyata justru setelah itu, di bagian pemeriksaan barang bawaan. Setidaknya terlihat dari antrean.
Jika di bagian imigrasi hanya antre lima orang, maka di bagian pemeriksaan barang bisa sampai 30-an. Panjang dan lama. Jika di bagian imigrasi tak sampai 5 menit per orang, maka di bagian pemeriksaan barang bisa sampai 10-15 menit.
Begitulah sambutan selamat datang di Bandara Auckland, Selandia Baru, negara yang sangat ketat dengan biosecurity.
Istilah biosecurity ini susah juga padanannya dalam bahasa Indonesia. Mau pakai keamanan pangan atau lingkungan rasanya tidak tepat juga. Secara sederhana, biosecurity mengacu pada keamanan bahan-bahan yang diolah dari alam, terutama pertanian dan keberagaman.
Sebagai negara yang “terisolir” sendiri di ujung selatan Bumi, Selandia Baru sangat berkepentingan agar negara mereka tidak “tercemar” bahan pangan dari luar. Apalagi mereka memang sangat tergantung pada produksi pertanian secara luas.
Selandia Baru ingin menjaga agar produk pertanian mereka tetap sehat dan bersih.
Karena itu pula, sekitar dua bulan sebelumnya, panitia Kongres International Federation of Agriculturan Journalist (IFAJ) sudah wanti-wanti. “Selandia Baru sangat ketat melakukan pengawasan biosecurity. Jangan bawa bahan olahan dari daging ataupun tumbuh-tumbuhan jika tidak sangat penting,” begitulah kurang lebih pesan mereka lewat email.
Maka, niat untuk membawa saos sambal cabai dari Indonesia pun terpaksa aku batalkan. Takut malah jadi masalah ketika tiba di sana.
Ketika aku tiba di sana Minggu sore kemarin, kesan angker itu lebih terasa di Biosecurity Control dibandingkan di bagian imigrasi. Selain lebih lama juga lebih seram.
Tak hanya dengan mesin pemindai (scanner), mereka juga membawa anjing pelacak. Satu per satu barang bawaan penumpang diperiksa. Beberapa penumpang dari Cina dengan terpaksa menyerahkan makanan basah mereka ketika ketahuan membawanya di tas.
Aku sendiri sih lantjar djaja ketika di bagian pemeriksaan. Hanya dibaca sekilas formulir barangku, lalu melenggang kangkung.
Sekitar 30 menit kemudian, aku dan lima teman lain dari Filipina, Vietnam, Amerika Serikat, dan Irlandia pun melaju di mobil van yang membawa kami dari Bandara Auckland ke Hamilton. Lansekap datar dan berbukit dengan padang rumput hijau menyambut kami selama 1,5 jam perjalanan.
Kami tiba di Hamilton, kota terbesar keempat di Selandia Baru, ketika petang sudah datang. Minggu petang itu, sekitar pukul 7, kota ini terlihat sepi. Tak banyak orang atau kendaraan lalu lalang di jalan. Padahal, kami menginap di Jalan Victoria, pusat keriuhan Hamilton.
Tapi begitulah kota dan negara ini secara umum, terpencil dan relatif sepi. Kia Ora in New Zealand..
October 22, 2015
Untung gak ngajak daging mentah’ ya Mas. *ehem ehem