Bus Denpasar – Jember ini benar-benar menipu.
Ketika aku baru tiba sekitar pukul 6.30 pagi, tukang cuci bus Gunung Harta itu bilang bus akan segera berangkat. “Paling 30 menit lagi,” katanya pas aku tanya.
Karena itu, aku pun agak buru-buru ketika minum kopi di salah satu warung. Takut ketinggalan bus.
Terminal Ubung, Denpasar relatif sepi pagi pas aku mau ke Jember akhir Mei lalu itu. Di tempat duduk penumpang hanya ada belasan orang. Di tempat bus parkir, bus yang ada juga sama sedikitnya. Bisa dihitung dengan jari.
Bus jurusan Denpasar – Jember hanya salah satunya. Ketika aku masuk bus ini, belum ada satu pun penumpang. Tapi, karena tukang cuci dan kemudian petugas bagian tiket juga bilang, “Berangkat sebentar lagi..” aku pun duduk manis menunggu.
Satu per satu penumpang lain datang. Jam juga terus berjalan. Tapi 30 menit kemudian, bus belum juga berjalan. Dari tempat parkir, dia maju ke tempat di mana bus akan segera berangkat. Aku sudah senang. Bus akan segera cabut dari terminal.
Eh, ternyata salah. Bus cuma di sana 10-an menit. Lalu mundur lagi ke tempat parkir semula. Kirain cuma sekali, ternyata berkali-kali. Lebih dari lima kali maju mundur tidak jelas berangkat.
Bahkan hampir dua jam sejak pertama kali tukang cuci bus bilang, “Paling 30 menit lagi berangkat..” tetap saja bus itu belum berangkat. Ngeselin banget!!
Pada pukul 9.30an, barulah bus itu berangkat.
Tidak jelasnya jadwal keberangkatan itu ditambah ala siputnya perjalanan. Lambat. Perlu waktu sekitar 4 jam dari Denpasar hingga tiba di Pelabuhan penyeberangan Gilimanuk. Banyak berhenti menaikturunkan penumpang plus kadang-kadang terjebak kemacetan.
Ketika sudah menyeberang Selat Bali, perjalanan Ketapang – Jember pun sami mawon. Lambat. Banyak berhenti. Kejebak macet. Alhasil, sampai pukul 6 petang baru tiba di Jember.
Lebih dari 12 jam perjalanan darat untuk jarak 245 km. Padahal, menurut Peta Google hanya perlu 6,5 jam perjalanan. Dengan bus antar-kota, waktu tempuh jadi dua kali lipat. Belum lagi ditambah suasana di dalam bus yang tak nyaman. Penumpang merokok sembarangan. Gerah.
Naik bus umum Denpasar – Jember memang sangat tidak menyenangkan. Tarif mahal, Rp 85 ribu. Waktu lama, sampai 12 jam. Beda jauh dengan ketika perjalanan balik dari Jember ke Banyuwangi.
Karena kapok tak mau lagi ngumpat-ngumpat naik bus, aku naik kereta api saja. Kalau ada kereta sekalian sampai Bali sih aku mau. Sayangnya tak ada. Tapi ya tak apa.
Tarif tiket kereta ekonomi Jember – Banyuwangi cuma Rp 6.500. Ya, enam ribu lima ratus. Waktu keberangkatan tepat waktu sesuai jadwal. Begitu pula lama perjalanan, sekitar 3 jam.
Di dalam gerbong memang agak berdesakan karena kelas ekonomi. Satu deret kursiku isi tiga orang. Ditambah tiga orang lagi di depan kursi kami. Jadi ya agak mepet-mepetan. Tapi, itu tetap jauuuuuh lebih baik dibandingkan naik kereta ekonomi 20an tahun lalu.
Hal menyenangkan lain kalau naik kereta api tentu saja pemandangan selama perjalanan. Hijau. Asri. Segar. Sepi. Melewati tempat-tempat indah di balik hiruk pikuk jalan raya. Serupa pengalaman saat naik kereta dari Bandung ke Jakarta, perjalanan dari Jember ke Banyuwangi pun asyik sekali.
Di antara angkutan lain, kereta api sepertinya paling bagus pelayanan dan perubahannya. Karena itulah, aku yakin kereta api ini bisa jadi pilihan paling masuk akal jika Indonesia memang mau serius menata transportasi publik yang murah dan ramah lingkungan.
Betapa menyenangkan jika semua wilayah di Indonesia bisa dijangkau dengan kereta, termasuk Bali.
Namun, imajinasi indah tentang indahnya transportasi publik dengan kereta api di Indonesia langsung pudar ketika sudah tiba lagi di Bali. Hanya ada bus-bus kecil dari Gilimanuk ke Denpasar. Tarifnya Rp 40 ribu. Lama perjalanan sampai empat jam.
Mahal dan lama.
July 18, 2016
Sabar Mas, tunggu 20 tahun lagi. semoga MRT besutannya baginda raja bisa terwujud. kalo belum ya tunggu 20 tahun lagi mas…