Pemulung itu berjalan tak jauh dariku. Dia menyusuri jalan Morotai Sanglah Denpasar ketika aku sedang mengetuk pintu gerbang rumah Nyoman Sutawan Kamis kemarin. Aku mau wawancara guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali yang juga ahli subak tersebut.
Tadi, di ujung utara ketika masuk jalan kecil ini aku lihat ada papan bertuliskan, “Pemulung Dilarang Masuk.” Peringatan ini sangat mudah ditemukan di berbagai tempat di Denpasar. Biasanya di gang kecil atau kompleks perumahan agak elit. Begitu pula di jalan di mana aku bertemu dengan pemulung tersebut.
Tapi tulisan itu tidak berarti bagi pemulung yang sekarang kutemui. Buktinya dia cuek saja masuk jalan tersebut membawa gerobaknya. Dia berhenti di depanku. Membuka tempat sampah di depan rumah tempat aku hendak bertamu. Diambilnya satu bekas kardus kecil. Lalu tempat sampah itu ditutup kembali.
Seorang bapak, usianya mungkin sebaya dengan pemulung itu namun jelas terlihat dari kelas sosial dan ekonomi lebih tinggi, menegur pemulung tersebut. “Pak, kan di depan sudah ada larangan pemulung masuk ke sini. Apa bapak tidak lihat,” kurang lebih begitu kata bapak itu ke pemulung tersebut.
Pemulung itu tidak menjawab sama sekali. Dia hanya menunduk. Menarik gerobaknya pelan-pelan. Pergi dari situ..
Tinggal aku di sana kembali berpikir tentang pemulung itu. Kenapa sih pemulung harus dilarang masuk di sebuah gang atau kawasan perumahan? Aturan mana yang membenarkan larangan bagi pemulung untuk bekerja di satu tempat?
Seorang teman pernah bilang kalau larangan terhadap pemulung di Bali berasal dari rasa curiga terhadap pendatang. Sebab, pada umumnya pemulung di Bali berasal dari Jawa atau Madura. Artinya identitas jadi alasan utama.
Namun sejak awal aku berpikir bahwa larangan terhadap pemulung muncul karena rasa curiga pada kelas pekerja yang sering disebut informal ini. Terbukti bahwa di Solo pun aku menemukan tulisan larangan masuk bagi pemulung di banyak tempat. Bahkan aku pernah melihat larangan yang sama di sebuah desa di Lamongan. Artinya memang benar bahwa larangan terhadap pemulung lebih bertendensi kelas daripada identitas.
Sebagian orang beralasan melarang pemulung karena beberapa kali terjadi pencurian barang oleh pemulung. Tapi ini kan bukan berarti kemudian menganggap seluruh pemulung adalah pencuri. Kalau memang ada yang berbuat jahat, cukuplah awasi atau kasi tau yang baik-baik agar tidak meniru yang jahat. Bukankah pemulung justru pekerja yang berjasa membersihkan kota dari sampah-sampah yang bisa didaur ulang baik organik atau anorganik?
Lalu kenapa kita tidak mengubah saja larangan itu menjadi undangan, “Pemulung Silakan Masuk..”
Leave a Reply