Mengintip Matahari Terbit Lalu Mendaki Bromo

0 , Permalink 0

Ini cerita lanjutan tentang liburan akhir tahun lalu.

Setelah sempat tertunda karena telanjur lupa atau pura-pura sibuk mengerjakan yang lain, mari lanjutkan lagi ceritanya. Kali ini tentang lokasi kedua, Bromo.

Sebelumnya aku sudah dua kali ke Bromo. Pertama kali sendirian. Hanya jalan-jalan setelah ada acara di Bondowoso. Kedua kali sama Bunda dan dua teman lain untuk liputan tentang upacara Kasada. Jadi, Bromo sudah terasa lebih familiar. Sudah tahu pula strategi kalau mau ke sana.

Kali ini bareng keluarga. Selain Bani dan Satori juga sama Bayu, si ponakan. Berikut beberapa strategi jika mau liburan ke Bromo, terutama bersama keluarga, berdasarkan pengalaman kami.

Pertama soal transportasi menuju Bromo. Pilihan perjalanan ke Bromo bisa menggunakan banyak jalur dan moda. Ada yang lewat Malang atau Pasuruan. Bisa pakai jip jika lewat Malang ataupun mobil pribadi. Bisa juga lewat Probolinggo dengan ojek atau angkutan umum.

Namun, menurut tiga kali pengalaman pribadi, jalur terbaik adalah dari Probolinggo dengan angkutan umum. Begitulah pilihan kami saat liburan kali ini.

Kenapa? Karena mudah diakses. Dari terminal bus Probolinggo cukup keluar sedikit ke jalan raya Probolinggo – Bromo terus cari angkutan desa ke Bromo. Mobilnya agak jelek. Tua dan berkarat. Kapasitas maksimal 15 orang, tetapi bisa jalan jika sudah terisi 10an orang dengan tambahan biaya. Tarifnya Rp 35 ribu per orang.

Selama 1,5 jam perjalanan naik ke arah Bromo, suaranya berderit-derit. Semacam orang tua korban kerja paksa. Namun, mobil-mobil itu masih tangguh meliuk-liuk dan menanjak menuju Cemorolawang, desa populer untuk menginap jika jalan-jalan ke Bromo.

Kedua soal akomodasi. Paling bagus ternyata langsung datang ke lokasi. Banyak pilihan jika mau mencari lewat aplikasi pemesanan daring, semacam Agoda, Traveloka, atau Booking, tetapi cari langsung di lokasi juga oke-oke saja.

Begitulah yang kami lakukan saat liburan lalu. Sopir mobil tua berderit-derit korban kerja paksa itu menawarkan kamar ke kami. Harganya Rp 150 ribu per malam. Hanya kamar. Tidak ada AC (ya iyalaaaaah, ini kan sudah dingin banget, boooo!), televisi (memang masih ada yang nonton?), ataupun kamar mandi (nah ini dia yang masalah).

Setelah sempat lihat-lihat kamar yang ditawarkan, kami memilih pindah ke tempat lain saja karena kurang menarik. Kami dapat tempat lebih baik dengan pemandangan lebih keren. Cuma, kamarnya agak kotor dan spooky.

Ya, rada maklum saja sih karena ini rumah tinggal (homestay) dan murah.

Begitu kami turun untuk jalan-jalan, ternyata masih banyak homestay dan hotel lain dengan kondisi dan tempat yang lebih asyik. Meskipun akhir tahun, tamu tidak terlihat terlalu banyak. Jadi, asumsinya, masih banyak kamar kosong dan bisa ditawar. Mungkin besok-besok bisa lebih sabar untuk mencari yang lebih baik.

Ketiga soal lokasi yang dikunjungi. Bromo punya banyak pilihan tempat menarik untuk jalan-jalan selain Gunung Bromo itu sendiri. Misalnya titik menikmati matahari terbit (sunrise point), lautan pasir, dan padang savana.

Untuk bisa menikmatinya pengunjung punya pilihan jalan-jalan sendiri atau menyewa jip dan sopirnya. Kami memilih yang kedua, menyewa jip. Harganya Rp 550.000 untuk satu paket ke dua lokasi yaitu sunrise point di Penanjakan 2 dan kawah Bromo. Jika mau tambahan dua lokasi lain, lautan pasir dan padang savana, biayanya lebih mahal lagi, Rp 700 ribu.

Melihat jadwal liburan yang masih setengah perjalanan dan atas nama penghematan, cukuplah hanya dua lokasi. Dan, sepertinya ini pilihan yang tepat.

Kami berangkat dini hari, pukul 3.30 WIB, untuk mengejar matahari terbit. Setengah jam jalan, eh, sudah sampai tempat parkir Penanjakan 2. Dari tempat parkir jalan menanjak di pagi buta dan udara super dingin menuju titik untuk menunggu matahari terbit.

Untungnya anak-anak menikmati. Cuma si adik yang agak rewel bilang capek sampai kemudian kami sewa kuda saja. Bayar Rp 100 ribu. Lumayan menguras dompet lagi, tetapi membuat jalan-jalan lebih mudah pagi itu.

Sekitar 2 km mendaki pagi buta, sampailah kami di titik terbaik untuk menikmati matahari terbit. Dibandingkan Penanjakan 1, titik di sini lebih tertata. Lebih sepi pula. Jadi kami bisa menikmati dengan leluasa.

Puas menikmati matahari terbit, kami lanjut ke Gunung Bromo. Sekitar 30 menit dari sunrise point.

Ada yang berbeda dibanding terakhir kali kami ke sini tiga tahun lalu saat liputan Kasada. Kali ini tempat parkir lebih tertata dan lebih jauh. Karena itu kami harus jalan kaki dari tempat parkir ke kawah Gunung Bromo. Jaraknya sekitar 2 km.

Banyak penunggang kuda menawarkan jasa. Sekali angkut Rp 100 ribu sampai di titik paling bawah tangga sebelum naik ke kawah. Kami memilih jalan kaki sebelum kemudian ketika di tengah perjalanan menyusuri jalan berdebu itu si adik kumat lagi. Capek dan tidak mau naik ke kawah.

Akhirnya kami balik dan turun ke tempat parkir naik kuda sementara Bani dan Bayu melanjutkan naik sampai kawah. Ini jadi pelajaran. Jalan-jalan ke Bromo memang mahal. Cuma ya masih bisa diterima sih karena, untungnya, duit itu lari ke warga lokal seperti pemilik rumah tinggal, sopir jip, dan para penunggang kuda.

Kalau banyak duit sih oke-oke saja. Namun, bagi kami cukuplah dulu jalan-jalannya. Dari rencana dua malam di sana, akhirnya cukup semalam saja. Kami perlu menyimpan energi dan duit untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, Probolinggo.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *