Uh, akhirnya menginjakkan kaki juga di Kalimantan.
Di antara pulau-pulau besar di Nusantara, inilah satu-satunya pulau yang belum pernah aku kunjungi di usia hampir 40 tahun ini. Syukurlah, akhirnya keturutan juga ke sini.
Tidak ada penerbangan langsung dari Denpasar ke Pontianak. Pilihannya antara transit di Jakarta atau Surabaya. Aku pilih Surabaya meski transitnya hampir seharian. Lumayan buat menyelesaikan satu pekerjaan.
Hari sudah malam ketika aku tiba di Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat pada Senin, 26 Februari lalu. Sekitar pukul 8.30 malam. Tak apa, masih ada sedikit waktu untuk menikmati kota ini.
Hal pertama yang mengesankan adalah betapa beragamnya kota ini. Tahun Baru China baru saja berlalu sekitar seminggu. Sisa-sisanya masih terlihat. Ribuan lampion menghiasi kota, termasuk di kawasan Jalan Gajah Mada di mana aku menginap.
Berjarak tak lebih dari 100 meter dari tempat menginap, sebuah warung kopi penuh sesak dengan pengunjung. Mereka duduk mengelilingi meja-meja bujur sangkar. Segelas kopi dan sepiring pisang goreng menemani.
Pontianak terlihat hidup sekali di malam hari.
Jalan Gajah Mada ini memang termasuk pusat kota. Tempat di mana keramaian berada. Karena itu, beraneka ragam kedai makanan pun ada.
Selain warung kopi, sepertinya kedai kwe tiao juga jadi andalan. Aku lihat banyak sekali sepanjang jalan. Begitu pula bakpao. Pengaruh China kuat sekali di sini. Aku malah lebih susah menemukan Sari Laut Lamongan yang konon tersebar di seluruh Nusantara. Heheheā¦
Sebagai sebuah kota, menurutku Pontianak punya potensi untuk menarik sebagai tempat plesiran. Keberagaman jelas modal besar. Apalagi jika keberagaman itu bisa ditunjukkan secara visual dan ritual.
Pasar Malam Pecinan di salah satu jalan kecil, masih di kawasan Gajah Mada, mengingatkanku pada Jonker Walk di Melaka, Malaysia dan Yaowarat Road, Bangkok. Penuh sesak dengan pengunjung yang sekadar berjalan-jalan. Bedanya cuma lebih pendek.
Dari sisi kuliner, Pontianak juga sepertinya punya banyak pilihan. Selain kedai kopi dengan pisang goreng yang buka siang dan malam hari itu, makanan khas China, Melayu, dan Dayak juga banyak.
Sungai Kapuas juga menjadi ikon menarik. Jika dikelola dengan baik, aku yakin bisa sekeren Chao Phraya di Bangkok. Apalagi sampai sekarang, sungai ini juga masih dipergunakan sebagai jalur transportasi warga.
Waktu dua hari dua malam di sini jelas kurang. Apalagi karena kali ini memang bukan untuk jalan-jalan tetapi diskusi tentang keamanan digital.
Pelatihan dasar tentang keamanan digital ini bagian dari kegiatan Bulan Aman Berinternet Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet). Selain di Pontianak, kegiatan serupa juga diadakan di Denpasar, Pekanbaru, Jakarta, dan Surabaya.
Di Pontianak, kami bekerja sama dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) untuk melaksanakan pelatihan aman berinternet ini. Aseanty Pahlevi, salah satu pendirinya, juga relawan SAFEnet di kota ini.
Kloplah.
Selain SAFEnet, pemateri lain dalam diskusi setengah hari ini adalah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Indonesia. Kami bagi-bagi tugas di depan sekitar 30 peserta diskusi.
Aku memulai dengan hal-hal mendasar terkait keamanan digital. Tentang, antara lain, bagaimana data-data pengguna Internet dijual oleh pemberi layanan tanpa kita mugkin sadar. Juga tentang strategi dasar melindungi data-data pribadi di Internet.
Seperti biasa, aku merasa ini serupa tugas mantri kesehatan yang mengajarkan agar kita mau mencuci tangan sebelum makan. Mengantisipasi agar tidak sampai sakit gara-gara makanan. Mencegah diri agar tidak jadi korban ketika asyik berinternet.
Ema Rahmaniah, Koordinator Mafindo Kalbar, menjelaskan bahaya kabar dusta (hoax) yang kini muncul di Internet. Contohnya pembakaran vihara di Sumatera Utara pada 2016 dan pembunuhan seorang warga di Kalbar pada 2017. Keduanya terjadi karena kabar dusta.
Ada empat cara melawan kabar-kabar dusta ini: memeriksa fakta, literasi digital dan kampanye publik, advokasi, dan mengajarkan keberagaman. Mudah di teori, susah di praktik.
Jane Aileen dari YLBHI melanjutkan diskusi tentang maraknya ujaran kebencian (hate speech) dan persekusi akibat status media sosial. Di sisi lain, polisi sebagai penegak hukuk juga sensi dan tak cukup paham Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama Pasal 27 ayat 3.
Akibatnya, orang menulis status kritis sedikit kemudian dilaporkan lalu diancam penjara. Parahnya bahkan diserbu massa hanya karena mereka tidaks setuju dengan isi tulisannya di media sosial.
Jalan keluarnya?
Klise sih. Diskusi-diskusi seperti yang kami lakukan di Pontianak ini bisa jadi salah satu jalan keluar. Mengajarkan tentang perlunya keamanan digital, tentang verifikasi informasi, tentang hak atas kebebasan berekspresi. Cuma ya ini juga bukan pekerjaan mudah.
Leave a Reply