Kafe Kolong memberikan kejutan pada malam terakhir di Jember.
Semula aku pikir tempat ini hanya serupa tempat nongkrong dengan banyak warung kopi. Serupa angkringan atau lesehan begitu. Namun, begitu tiba di sana, ternyata aku salah. Kafe Kolong melebihi apa yang aku bayangkan.
Merujuk namanya, Kafe Kolong memang berada di kolong jembatan. Lokasinya di tengah kota. Dari hotel tempat kami menginap malah hanya sekitar 5 menit jalan kaki. Toh, meskipun berada di bawah jembatan, suasananya tak terlalu riuh oleh kendaraan. Nyaris lengang malah.
Dari tiga kolong melengkung di bawah jembatan, hanya satu kolong yang digunakan. Lebarnya kira-kira 10 meter. Lampu remang-remang segaris lengkungan di bawah jembatan menciptakan nuansa lebih teduh. Romantis..
Meja kursi berjejer rapi di bawahnya. Perkiraanku, tempat ini bisa menampung lebih dari 200 orang. Toh, makin malam, tempat ini makin penuh terisi. Rata-rata anak muda meskipun ada juga keluarga seperti kami.
Selain tempat yang asyik itu, menu-menu di Kafe Kolong juga oke punya. Beragam minuman, terutama kopi dan jus ada di sini. Salah satunya pesanan kami, Vietnam Drip dengan pilihan kopi arabika atau robusta. Harga per porsi hanya Rp 10.000.
Menyeruput kopi setelah mengunjungi lokasi produksi dan pengolahannya membuat cita rasa jadi berbeda. Kafe Kolong terasa menyempurnakan dua hari liburan kami di kabupaten ini.
Pagi sebelumnya, kami berkunjung ke kebun dan pengolahan kopi di pegunungan Jember. Nama tempatnya Wisata Agro Rayap, kebun kopi sisa zaman Belanda. Wisata Agro Rayap berada di ketinggian antara 500-700 mdpl. Cocok buat budi daya kopi robusta, salah satu komoditas andalan kabupaten ini selain karet.
Lokasinya di utara kota dengan jarak tempuh sekitar 40 menit. Jalan agak berliku dan menanjak begitu keluar kota dan menyusuri pedesaan.
Sehari-hari Wisata Agro Raya Rayap merupakan kebun kopi. Aku lupa berapa luasnya. Hanya ingat kalau dia sudah ada sejak zaman Belanda dulu. Saat ini perkebunan ini berada di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Cerita itu mirip perkebunan lain yang berada di Banyuwangi, kabupaten tetangga.
Sisa-sisa Belanda itu secara fisik juga terlihat pada bangunan vila kolonial. Berada di tengah kebun, vila dominan warna putih dengan jendela dan pilar-pilar besar ala bangunan Eropa ini sebenarnya adem banget. Cocok buat istirahat. Di sebelahnya juga ada sungai mengalir tempat kami main sebentar sambil menunggu peserta jalan-jalan lainnya datang.
Cuma kok aku ngrasa a little bit spooky. Mungkin karena kurang terawat. Untungnya sih kami ke sana bukan untuk menginap. Cukup sekitar tiga jam jalan-jalan mengenal perkebunan ini.
Kami jalan-jalan ke kebun kopi robusta. Ada 20an peserta lain yang sebagian besar adalah keluarga. Wisata pertanian ternyata bagus juga buat keluarga, termasuk buat kami. Anak-anak jadi bisa melihat proses rantai nilai komoditas kopi.
Proses itu mulai dari kebun, di mana pegawai setempat menjelaskan proses pembibitan, sampai penyajian kopi siap sruput. Para pengunjung tidak hanya berjalan-jalan di kebun tetapi juga melihat pemilahan biji dan pengujian rasa (cupping test).
Menurutku, wisata model Agro Rayap begini yang perlu diperbanyak di Indonesia. Biar kami makin tahu apa yang ada di tanahnya sendiri.
Agro Rayap sendiri termasuk salah satu tujuan wisata baru di Jember. Komunitas bernama Tamasya Bus Kota (TBK) yang mengenalkannya. Komunitas ini pula yang memandu kami selama dua hari di Jember.
Hal asyik dari TBK adalah karena dia mengenalkan tempat-tempat alternatif, seperti Agro Rayap. Sehari sebelumnya, mereka mengajak kami ke warga yang mengelola usaha pembuatan kopi dari biji salak alias koplak. Dalam bahasa Jawa, koplak berarti goblok. Bagi pasangan muda yang mengelola usaha ini, nama itu justru untuk menarik perhatian.
Tempat lain yang kami kunjungi adalah pusat pengolahan ikan di pantai selatan Jember. Namanya Pantai Payangan. Di sekitarnya ada beberapa lokasi termasuk Teluk Cinta, Pantai Watu Ulo, Pantai Papuma, dan lain-lain. Kami jalan-jalan ke sini pada hari pertama tiba di Jember. Kami melihat pengasapan ikan dan ngobrol dengan nelayan di sana.
Ini bukan wisata arus utama. Ngobrol dengan nenek-nenek pengasap ikan di antara asin aroma laut dan serakan sampah jelas bukan bagian dari pariwisata. Namun, kami sangat mengapresiasi wisata model ini. Kami jadi bisa tahu sisi-sisi lain yang tidak mungkin ditemukan dalam brosur wisata bagi pemburu swafoto.
Cuma, sebagai tujuan jalan-jalan baru, tempat-tempat itu memang belum terlalu tertata. Masih jorok. Berantakan. In sih memang pekerjaan rumah di mana-mana, mengajak orang hidup lebih rapi dan bersih.
Kalau tempat-tempat baru itu bisa ditata layaknya Kafe Kolong, wah pasti lebih asyik lagi untuk dijadikan tujuan jalan-jalan..
Leave a Reply