Jadi, Berapa Banyak yang Terlewat?

0 , Permalink 0

“Ayah jadi nulis soal apa?” tanya adik.

Kami sedang sarapan kemarin pagi. Duduk melingkar di masing-masing kursi mengelilingi meja bundar. Di meja ada roti isi telur dan tomat serta ubi jalar rebus.

Namun, seperti biasa, sarapan kami tak hanya berisi makanan, tetapi juga hangat perbincangan. Kali ini termasuk pertanyaan adik tentang apa yang akan aku tulis.

Minggu lalu, aku bilang ke dia akan kembali nulis seperti adik dan kakaknya. Keduanya memang menulis hampir tiap minggu. Biasanya pada hari Selasa.

Bunda yang menyuruh dan membiasakan mereka membuat karya. Bentuknya bisa macam-macam: tulisan, gambar, video, dan lain lagi. Sesekali aku membaca karya-karya mereka. Temanya juga beragam. Misalnya tentang permainan Minecraft, jalan-jalan ke Lovina, juga perjalanan sampah plastik dari sungai hingga laut.

Membaca tulisan-tulisan mereka, aku jadi malu sendiri. Kalau keduanya hampir tiap minggu bisa membuat satu karya, kenapa aku tidak? Kenapa blogku justru kosong melompong hanya berisi cerita-cerita lama yang sudah lebih dari delapan bulan berselang?

Tiap kali melihat halaman blog yang lama aku tinggalkan, tiap kali pula aku selalu menemukan alasan.

“Duh, capek banget dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Ini nulis laporan saja baru 85 persen selesai. Padahal tenggat semakin dekat.”

“Ah, masak begitu saja mau ditulis. Itu kan cerita personal banget. Buat apa juga ditulis di blog?”

“Ntar aja, deh. Pas sudah agak santai. Biar nulisnya lebih mengalir dan asyik.”

Apapun alasannya, hasilnya sama. Menulis di blog pun tertunda. Padahal, ingatan kepala sudah tertata rapi jali. Terlalu banyak hal yang terlewat untuk dituliskan di blog.

Duka-duka tahun lalu, misalnya, hanya terlewat begitu saja. Kepergian bapak mertua dan emak lalu seorang teman dekat di masa lalu seharusnya terlalu penting untuk dilewatkan. Begitu pula dengan setahun pandemi.

Maraknya penganut teori konspirasi. Perjalanan ke Vietnam. Digital nomad. Masifnya serangan digital.

Terlalu banyak cerita lewat begitu saja.

Maka, pertanyaan adik pun terdengar seperti sebuah peringatan sekaligus tagihan. “Ayah jadi nulis apa?”

Baiklah, Dik. Ayah akan coba menulis lagi. Pertama-pertama, menulis ini saja dulu. Bahwa Ayah akan mulai rajin nulis lagi, seperti adik dan Kak Bani. Sekalian sebagai pengingat kalau nanti Ayah lupa atau malas lagi.

Kedua, nanti Ayah ceritakan kembali semua yang sudah lewat. Tentang masa lalu yang sudah lewat puluhan atau belasan tahun berselang. Tentang suka duka yang pernah kita lewati. Juga tentang hal-hal tak penting lainnya.

Sori, ya, kalau ceritanya nanti hanya mengenang kejadian ataupun cerita yang sudah lama berlalu. Sebab, bukankah memang begitu gunanya menulis, mengabadikan sesuatu agar tidak mati ditelan waktu?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *