Taliban dan Belenggu Kebenaran versi Teman

0 , , Permalink 0
Sumber Wikipedia.

Kembalinya Taliban mengingatkan kembali amis darah di masa lalu.

Bukan. Tulisan ini tidak akan ngomong tentang bagaimana pelik melik konflik negara di Asia Selatan alias tetangga jauh itu. Terlalu kompleks masalahnya untuk dibahas orang yang pernah mendalami ataupun berkunjung ke sana.

Tulisan ini tentang bagaimana masalah di negara berjarak belasan ribu kilometer dari Bali pernah menjadi bagian akrabku di masa lalu.

Waktu itu akhir 1980an hingga awal 1990an. Masa di mana bau anyir darah, heroik perang, dan romantisme jihad mewarnai hari-hari remajaku. Juga ide suci melawan orang-orang kafir demi surga dipenuhi bidadari nan cantik dan seksi.

Ketika itu hari-hariku dijejali dengan buku stensilan kusam yang menceritakan tentang Perang Afghanistan. Di dalamnya juga terdapat beragam kisah tentang para Mujahidin Afghanistan.

Samar-samar aku ingat ceritanya. Ada cerita-cerita perang pada umumnya. Sekumpulan mujahidin Afghanistan bertempur di antara gersang tanah dan terik matahari melawan pasukan Soviet, negara komunis yang ingin menguasai Afghanistan kala itu.

Ada pula cerita-cerita yang terdengar tidak masuk akal. Belasan mujahid melawan ratusan pasukan Soviet hanya dengan modal batu. Dan, para mujahid menang. Ada pula mayat para mujahid yang gugur dalam perang. Bukannya amis darah, justru aroma wangi yang keluar dari tubuh-tubuh yang hancur karena perang itu.

Ada juga burung-burung melawan jet-jet tempur pasukan Soviet. Persis cerita burung-burung ababil di zaman Nabi.

Kebenarannya? Entahlah. Orang kalau sudah fanatik dengan sesuatu, apalagi agama, kan tidak pernah punya logika. Menerima begitu saja semua kisah-kisah heroik Perang Afghanistan itu. Begitu pula aku pada saat itu, remaja haus bacaan dengan akses ke perpustakaan hanya saat sekolah di kampung terpencil.

Mendapat bacaan serupa novel tentang perang Afghanistan sama menggairahkannya dengan diam-diam melihat kartu berisi perempuan telanjang.

Aku tidak sendiri. Kisah serupa juga bisa dengan mudah ditemui di media-media puritan, seperti Al-Muslimun dan Panji Masyarakat saat itu. Aku yakin banyak pula yang menikmati cerita-cerita itu dan mempercayainya begitu saja.

Mereka yang percaya disatukan oleh sentimen agama bercampur konspirasi. Percaya bahwa umat Islam sedang teraniaya oleh orang-orang kafir. Percaya bahwa setiap konflik hanya terdiri dari dua sisi, hitam putih. Orang Islam pasti putih. Orang kafir komunis pasti hitam.

Maka, orang Islam tak ada pilihan dan harus bangkit melawan komunisme. Sebab, jika tidak, maka umat Islam akan semakin tertindas.

Maka, berduyun-duyunlah mereka yang percaya pada teori konspirasi itu ke Afghanistan. Osama bin Laden hanya salah satu di antaranya. Dari Indonesia, sejumlah nama pun turut ke sana: Ali Imron, Imam Samudra, Imam Hambali, dan nama-nama pelaku teror lain di Indonesia.

Aku yakin cerita sebenarnya tentu saja sangat rumit. Setiap konflik memiliki akar masalah dan kisahnya sendiri. Tidak bisa dilihat hanya hitam putih. Misalnya, orang-orang Islam melawan orang-orang komunis.

Namun, begitulah apa yang aku percayai saat itu. Hanya membaca dari satu sisi. Dari buku-buku sealiran dan sepandangan. Hasilnya, pikiranku hanya dipenuhi cerita satu versi. Sangat mengimani teori konspirasi bahwa umat Islam hanyalah korban.

Kami saat itu menutup mata soal rumitnya geopolitik regional dan nasional. Juga peliknya hubungan antara Barat, Islam, dan Komunisme. Tidak ada itu semua. Yang ada hanya umat Islam teraniaya.

Toh, keimanan terhadap teori konspirasi semacam itu bukan hanya monopoli agama tertentu, seperti Islam. Hari-hari ini, mereka yang percaya pada teori konspirasi pun terjadi dalam isu COVID-19.

Mereka yakin bahwa COVID-19 adalah bagian dari konspirasi besar untuk menundukkan manusia dalam satu sistem tunggal yang dikuasai elite global. Bahwa COVID-19 hanya rekayasa agar setiap orang nantinya mau disuntik vaksin. Padahal, vaksin itu berisi chip yang bisa dikendalikan menggunakan gelombang 5G.

Teori-teori konspirasi semacam itu beredar di berbagai media sosial. Tidak ada bukti ilmiah atau fakta pendukung. Mereka yang percaya tidak memerlukan itu semua penjelasan dan bukti, seperti juga mereka yang dulu percaya bahwa jihad di Afghanistan adalah jihad membela Islam.

Bahkan, itu terjadi pada mereka yang tiap hari kebanjiran informasi. Jika ketika remaja dulu aku memang karena kurangnya alternatif bacaan dan pandangan, maka mereka yang percaya teori konspirasi COVID-19 saat ini memang karena pilihan. Mereka bukan tidak punya bacaan lain. Mereka hanya tidak mau membaca, apalagi percaya, pada pandangan berbeda.

Inilah sisi gelap media sosial saat ini. Media sosial yang konon untuk menyatukan, hanya semakin membuat mereka fanatik pada apa yang dipercayai. Informasi beredar dari linimasa teman-teman satu lingkaran. Jika ada yang berbeda, maka dianggap tidak lagi teman perjuangan, harus diblokir dan bahkan dimusuhi di dunia nyata.

Begitulah fanatisme terhadap teori konspirasi ini terjadi di mana-mana. Tak hanya di Afghanistan, tetapi juga bahkan di lingkaranku sendiri.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *