Amed yang Selalu Memanggil untuk Kembali

0 , , Permalink 0

Matahari yang baru terbit membawa merah saga.

Cahayanya pelan-pelan tiba di pantai yang pagi itu menyambut dengan debur ombak tak kunjung berhenti. Udara segar. Air jernih. Ombak terasa amat tenang.

Pasir dan kerikil-kerikil kecil menjadi tempat nyaman berjalan dengan telanjang kaki. Menyusuri pantai dari timur ke barat. Tak hanya menikmati tenang suasana tetapi juga anggun Gunung Agung di barat sana.

Pantai Amed di pagi hari hampir selalu menyajikan pemandangan terbaik yang dia miliki, tenang pantai dan anggun sang Mahagiri, nama lain Gunung Agung. Inilah yang membuat Amed selalu menjadi tempat terbaik untuk menikmati sepi. Setidaknya sejauh ini.

Pantai membuatku jatuh cinta pada kedalaman dan misterinya. Sesekali takut pada ombak yang mengamuk tetapi lebih sering kembali terhanyut dalam tenang dan birunya.

Bagiku, pantai selalu menjadi tempat terbaik untuk menemukan dan menikmati diri sendiri. Duduk diam menikmati ombak. Datang. Pergi.

Debur ombaknya selalu mengajak diri kembali ke alam dan melebur. Sesekali mengingatkan diri agar tidak takabur tetapi selalu menjadi tempat melepaskan penat yang menghibur.

Dan, Amed memiliki itu semua. Kesunyian. Ketenangan.

Karena ituah, sampai saat ini, Amed tetap menjadi tempat terbaik bagiku untuk melarikan diri. Termasuk saat melewatkan sepi tahun baru kali ini. Pantai desa selalu memanggil untuk kembali.

Amed berada di ujung timur Bali. Dari Denpasar, perlu sekitar 2,5 jam. Namun, jalan raya ke sana yang nyaman dan tidak sepadat ke arah Bali barat, membuat perjalanan ke sini terasa lebih menyenangkan.

Pantai Tulamben mungkin mirip tetapi di sana lautnya lebih dalam. Ombaknya amat keras. Lansekap pantainya juga cenderung drop off. Kurang nyaman untuk sekadar berendam di pantai.

Berbeda dengan Amed. Pasir di Amed hitam tetapi lembut. Lansekapnya landai. Jadi enak buat duduk-duduk santai. Ombaknya hampir selalu tenang.

Amed juga tempat di mana sebagian warganya membuat garam-garam kristal. Saat ini mereka makin terdesak oleh banyaknya pembangunan hotel, restoran, dan vila tapi pada saat musim kemarau masih tersisa sebagian.

Karena itu, mandi di Pantai Amed kadang-kadang menjadi semacam perjalanan singkat mengenang asin garam, sesuatu yang menghidupi kami sekeluarga saat kecil dulu. Emak kami pembuat garam lembut di kampung. Mandi di Pantai Amed bisa menjadi ziarah ke masa lampau ketika hidup kami amat tergantung pada asin garam.

Kegiatan terbaik di Amed adalah berenang di pagi hari. Masuk ke laut dengan air laut jernih dan tenang. Bening. Melihat kaki sendiri menginjak batu-batu kerikil sisa letusan Gunung Agung pada 1963 silam.

Batu-batu vulkanik itu menjadi salah satu bagian terbaik dari Amed. Mereka ada di bagian bawah laut. Begitu ada arus menuju darat yang datang bersama ombak, batu-batu kerikil itu akan bergemeretak.

Menenggelamkan kepala ke dalam air, mendengar kerikil berkertak saat terbawa arus ombak, terasa semacam meditasi singkat. Sesuatu yang hanya bisa aku temukan di Pantai Amed sampai saat ini dan seperti selalu memanggil untuk datang kembali.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *