“Jadi, apa resolusi tahun ini?” tanya Bunda.
Pertanyaan itu mengantarkan kami ketika meninggalkan Amed, tempat kami melewatkan pergantian tahun kali ini. Aku diam. Tidak langsung menjawabnya.
Sambil menyetir mobil aku baru berpikir. Mengingat-ingat apakah memang ada hal yang amat aku inginkan tahun sepanjang 2018 ini.
“Tidak ada. Memang mau apa lagi? Kita sudah punya semua apa yang kita cari,” jawabku.
Aku lanjut mengingat-ingat lagi. Di usia yang hampir kepala empat ini, rasanya hanya ada satu hal yang belum aku dapatkan, beasiswa kuliah master. Namun, aku mungkin tidak berjodoh. Sudah mencoba terus, tetap saja gagal untuk dapat beasiswa.
Usaha terakhir hanya sampai tahap wawancara untuk mendapatkan beasiswa dari Chevening. Setelah itu gagal ya sudah. Dinikmati saja.
Aku sudah pernah merasa sangat kecewa ketika gagal mendapat beasiswa dari Belgia tahun lalu. Aku tidak mau mengulangi kekecewaan lagi itu karena harapan yang terlalu tinggi. Karena itu aku sudah mampu menikmati saja ketika gagal lagi meskipun sudah berusaha.
Tahun ini aku sudah tidak berharap lagi. Bahkan keinginan untuk mencari beasiswa lagi pun sudah tidak ada. Kalau nanti ada ya cari, kalau tidak ya sudah. Mengalir saja.
Tanpa keinginan kuat untuk mencari beasiswa lagi tahun ini, rasanya memang tak ada lagi resolusi atau keinginan besar lagi yang aku cari. Memang mau apa lagi?
Aku pikir-pikir hidup mengalir seperti dua tahun terakhir ini sudah sangat menyenangkan. Kami sangat menikmati hidup.
Salah satu kuncinya adalah bekerja lepas.
Biasanya hal paling menakutkan bagi banyak orang memang pekerjaan. Apalagi jika bekerja tanpa tempat kerja dan pendapatan pasti. Namun, bekerja bebas sejak dua tahun lalu ternyata membuatku justru lebih punya banyak waktu untuk diri sendiri maupun keluarga.
Pekerjaan serabutan ternyata menyenangkan.
Tahun lalu, misalnya, aku masih bisa mengecer karya berupa tulisan, foto, dan video ke beberapa media. Tiga media paling rutin adalah Mongabay Indonesia, BenarNews, dan Forbes Indonesia. Asyiknya karena tiga media ini tidak terlalu menekankan pada kecepatan. Karena itu aku bisa bekerja lebih santai.
Sesekali, jika ada ide liputan mendalam bisa diusulkan dan dibiayai. Dua contoh tahun lalu adalah dua liputan mendalam tentang simpatisan ISIS di Lamongan yang dimuat BenarNews dan perikanan dengan prinsip perdagangan berkeadilan di Pulau Buru yang dimuat Mongabay Indonesia.
Dua media itu memberikan kebebasan kepada kontributor lepas sepertiku. Tak cuma membiayai liputan, termasuk transportasi dan akomodasi selama liputan, mereka juga memberikan honor yang relatif besar dibandingkan media-media lain di Indonesia.
Di luar media-media tempat jualan yang sudah tetap, sesekali aku bekerja juga sebagai fixer atau wartawan pembantu. Tahun lalu lumayan banyak media baru yang memintaku: Bloomberg, DPA, Straits Times, South China Morning Post, dan The Australian.
Bekerja untuk media-media asing ini selalu menyenangkan. Tekanannya lebih besar tetapi itu sepadan dengan honornya.
Selain bekerja lepas sebagai jurnalis, sesekali ada pekerjaan menjadi konsultan untuk organisasi non-pemerintah. Ada riset untuk HIVOS maupun membantu riset Monash University dan Queensland University of Technology (QUT). Ada membuat buku tentang kopi untuk Kementerian Pertanian dan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI).
Dengan pekerjaan-pekerjaan lepas itu, mengatur waktu juga bisa lebih bebas. Tidak perlu ngantor. Bisa bekerja hanya dengan kaos oblong dan kolor.
Bekerja bisa mulai dari pukul 04.30 pagi begitu bangun tidur. Rehat untuk menyiapkan anak-anak sekolah. Olah raga sama Bunda atau sekadar ngobrol santai di pagi hari. Siang hari jemput anak sekolah.
Bekerja bisa dari mana saja selama ada koneksi Internet.
Dua tahun menjadi pekerja lepas membuat waktu bisa lebih banyak untuk anak dan istri. Hasilnya juga lebih dari sekadar cukup. Bisa untuk biaya hidup sehari-hari. Bisa untuk nabung. Bisa untuk liburan ke negeri jiran.
Tak hanya untuk keluarga, bekerja lepas juga jadi lebih bisa mengatur waktu untuk kegiatan-kegiatan sosial sesuai panggilan jiwa. Diskusi. Menyebarkan pengetahuan. Bekerja pro bono untuk isu-isu kemanusiaan. Hidup jadi terasa lebih berimbang karena tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Dengan bekerja lepas hidup kami memang tidak mewah-mewah amat tetapi bagiku sih lebih dari cukuplah. Memang mau mencari apa lagi? Bukankah tujuan hidup adalah merebut kebebasan dan mewujudkan kebahagiaan?
Leave a Reply