Pemasarannya yang terbatas menjadi ciri khas kopi produksi Banjar Kiadan, Desa Pelaga Badung, Bali.
Kopi produksi Banjar Kiadan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Badung memang tidak seterkenal kopi Banyuatis, Singaraja. Padahal dari desa di Badung utara inilah bahan baku kopi Banyuatis juga disuplai. Orang-orang di Bali menyebut kopi produksi Kiadan ini sebagai kopi pelaga.
Ada dua jenis kopi di Banjar Kiadan yaitu robusta dan arabica. Jenis arabica paling banyak diproduksi untuk keperluan konsumen dari luar desa. Menurut I Nyoman Juta, petani kopi di Pelaga, jenis arabica paling diminati karena rasanya tidak terlalu pahit. Sedangkan penduduk setempat sendiri lebih menyukai jenis robusta. “Orang sini menyukai kopi yang lebih pahit,” katanya. Perbandingan produksinya 75% arabica, 25% robusta.
Dua jenis kopi ini masih ada beberapa variannya. Robusta misalnya ada varian tugusari dan BP42. Nama-nama itu merupakan pemberian dari Dinas Perkebunan Kabupaten Badung. “Petani di sini tidak terlalu peduli dengan varian itu,” kata I Made Japa, petani lainnya. Sebab dari rasa tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada bentuk daun, percabangan, dan besar kecilnya buah.
Tanaman kopi di Pelaga mulai dikenal warga setempat sejak zaman penjajahan Belanda. Juta, yang dikenal sebagai petani yang tahu banyak soal kopi, mengatakan awalnya warga setempat hanya mengenal kopi robusta. Pada 1980-an Dinas Perkebunan Badung mengenalkan jenis arabica melalui Proyek Rehabilitasi Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE). Alasan pemerintah ketika itu, tambah Juta, selain karena lokasi Pelaga yang cocok untuk budidaya, jenis arabica juga diminati konsumen.
Jenis robusta pun kemudian menjadi kelas dua setelah arbica dalam hal jumlah produksi. Produksi arabica kemudian dikirim ke Singaraja dalam bentuk gelondongan. Selain itu, sejak dua tahun lalu, kopi pelaga juga dikirim ke sebuah pabrik pengolahan kopi milik Pemda Bali di Menganti, Bangli.
Hingga saat ini, warga masih menjadikan kopi sebagai tanaman perkebunan utama. Setelah itu baru ada jeruk, vanili, dan coklat. Nyatanya, semua tanaman itu tidak bisa bertahan seperti kopi. Tanaman kopi mengalami perkembangan jumlah sejak awal diperkenalkan pada 1980-an itu. Data di Banjar Kiadan menunjukkan tahun lalu total luas tanaman kopi mencapai sekitar 125 hektar dari total luas perkebunan yang sekitar 150 ha. Produksi kopi di Pelaga mencapai 40 ton kopi beras per tahun untuk jenis arabica sedangkan untuk jenis robusta sekitar 5 ton per tahun.
Sayangnya, potensi tersebut belum memiliki pengolahan pasca panen yang bagus. Hasil kopi pelaga hanya dikirim ke luar daerah padahal punya potensi untuk diolah sendiri. Karena hal inilah, Yayasan Wisnu, sebuah Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) di Bali kemudian menjadikan Banjar Kiadan sebagai dampingan. Warga kemudian mendirikan koperasi untuk menangani pasca panen kopi pelaga ini. Dan, sejak tahun lalu, warga setempat telah mengolah kopinya dalam bentuk bubuk.
Warga melakukan pengolahan sendiri. Mulai dari pengupasan kulit, penjemuran, pemberasan, hingga pengolahan menjadi bubuk. Peralatannya sederhana. Untuk pemberasan dan penyangraian mereka menggunaka alat sendiri. Penggilingan menjadi bubuk menggunakan selip (penggilingan) yang bertenaga diesel merk Kubota 8,5 PK.
Pembungkusannya ada yang dengan plastik bening ada juga dengan kertas daur ulang berukuran 100 gram yang didesain sendiri oleh warga. Merk-nya Kopi Pelaga.
Uniknya, pemasaran kopi bubuk merk Kopi Pelaga ini hanya untuk kalangan terbatas beberapa desa. Bersama tiga desa dampingan Yayasan Wisnu yang lain, yaitu Desa Ceningan di Klungkung, Desa Tenganan di Karangasem, dan Desa Sibetan di Karangasem, mereka tergabung dalam Jaringan Ekowisata Desa (JED). Salah satunya membuat pemasaran antar desa. Termasuk pemasaran kopi itu tadi. Jadi, kopi pelaga hany diproduksi untuk desa-desa yang tergabung dalam JED itu.
Menurut Direktur Program Yayasan Wisnu IB Kade Yoga Atmaja, pemasaran antar empat desa itu dilakukan untuk “gerilya melawan” pasar yang demikian besar. Yoga menambahkan, untuk masuk dalam pasar terbuka, produksi kopi pelaga harus memenuhi beberapa syarat yang distandarkan pasar. Persyaratan itu misalnya harus ijin Badan Penelitian Obat-obatan dan Makanan (BPOM) dan semacamnya. “Karena tidak mungkin bisa, kami membuat pasar sendiri,” kata lulusan Universitas Gajah Made Yogyakarta ini.
Produksi kopi bubuk pelaga ini pun dilakukan selama ada permintaan dari desa lain. Totalnya konsumennya sekitar 350 kepala keluarga (KK) warga Ceningan, Tenganan 300 KK, dan Sibetan 140 KK.
Toh, meski demikian, produksi kopi pelaga dalam bentuk bubuk itu juga dipasarkan ke beberapa tempat lain meski hanya 20% dari total produksi. Nyoman Dana, penikmat kopi di Bali misalnya mengaku menyukai kopi pelaga bubuk tersebut justru karena keterbatasan produksinya. “Rasanya eksklusif karena tidak semua orang bisa menikmati kopi itu,” kata wiraswasta ini.
Warga Kiadan sendiri tidak memiliki cara yang khas dalam menikmati kopi. Biasa saja. Dalam sehari, rata-rata mereka ngopi tiga kali. Jumlah warganya 213 KK. Seluruhnya petani meski ada juga yang jadi Pegawai Negeri Sipil maupun wiraswasta. Desa ini berjarak sekitar 100 km dari Denpasar ke arah utara, berada di ketinggian 1100 m dari permukaan laut.
Meski kopi menjadi andalan, warga banjar Kiadan justru lebih banyak menggantungkan perekonomiannya pada sayur jipang yang dalam sehari bisa mencapai 6 mobil pick up dikirim ke Denpasar. “Cuma karena dianggap sepele, sayur itu tidak terlalu diperhitungkan,” kata Juta. Justru kopi yang banyak dikonsumsi masyarakat Bali yang membuat mereka dikenal. [end]