Pelukis Bali dari berbagai aliran berkarya di patung sapi. Dipamerkan di mall, bandara, restoran, juga galeri. Pertama kali di Asia.
Beberapa pengunjung Mall Bali Galeria di Jl By Pass Ngurah Rai Kuta Rabu sore pekan ini tersenyum. Ada juga pengunjung yang tertawa, sebagian hanya melihat sekilas. Ada juga yang sibuk memotret. Objek mereka adalah patung sapi yang penuh dengan gambar kartun.
Kartun-kartun itulah yang membuat para pengunjung tersenyum. Di seluruh bagian sapi itu penuh dengan gambar-gambar kartun. Misalnya di iga kanan patung tersebut. Ada gambar kartun seseorang berpakaian adat Bali berkata pada turis, “Please Have A Look Sir..!!”. Telunjuk orang itu mengarah ke gambar tangki bensin 10.000 liter. Namun yang membawa bukan mobil, tapi kuda. Di sebelah gambra itu juga ada kereta api keluar dari terowongan dan di rel sebelahnya ada kereta yang juga ditarik kuda.
Gambar lain pada patung tersebut memang cukup mengundang senyum. Ada beberapa anak sedang bermain di Water Boom. Di bawah mereka ada buaya menunggu dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Ada juga spiderman menebarkan jaringnya di laut. Atau seorang turis yang harus memanjat tiang listrik karena mengihindari kejaran pedagang acung.
Lukisan berjudul Bali Busy yang dilukis Bali Cartoonist Group itu hanya salah satu contoh lukisan yang dipamerkan. Di tempat yang sama ada juga lukisan berjudul Dinamika karya Pande Gede Supada. Namun dibanding lukisan yang pertama, lukisan ini tidak banyak yang melihat.
Pada saat yang bersamaan, ada 13 lukisan di berbagai tempat di Bali. Seluruhnya menggunakan patung sapi sebagai media lukisan, bukan di kanvas layaknya selama ini pelukis berkarya.
Adalah Peter Studer, 57 tahun, yang memiliki ide tersebut. Warga Swiss ini mengaku ide tersebut muncul dari Ruby Studder, istrinya. Ruby yang warga Filipina itu awalnya memang punya patung sapi dari kayu seukuran 15×22 cm persegi dari seorang seniman pada 1997. Setelah jadi, patung itu hanya disimpan di rumahnya di Desa Sabah, Blahbatuh, Gianyar.
Melihat patung sapi punya istrinya tersebut, Peter kemudian ingin mewujudkannya dalam ukuran yang sesungguhnya. Kondisi Bali setelah ledakan bom 12 Oktober lalu turut memunculkan ide tersebut. “Saya ingin menggairahkan suasana berkesenian Bali yang terlihat lesu,” kata Peter yang sudah di Bali sejak sembilan tahun lalu.
Peter dan istrinya kemudian memesan 50 ekor sapi tersebut pada pembuat patung sapi di Kintamani, Bangli. Patung sapi itu terbuat dari fiberglass dengan ukuran yang sama. Tingginya sekitar 1,25 meter dan panjang sekitar 2 meter.
Kepada GATRA, Peter mengaku salah satu tujuannya adalah menggairahkan kembali suasana seni itu di tengah kondisi saat ini. Di pun secara intesif mendekati beberapa seniman muda yang belum terkenal. Selain itu, beberapa maestro seni rupa Bali pun didekati pengusaha vila tersebut. “Respon mereka sangat bagus. Saya tidak menyangka mereka begitu antusias,” kata bapak satu anak ini.
Beberapa nama besar seperti Made Wianta, I Wayan Sika, dan Murniasih pun turut menyumbangakn lukisannya pada patung-patung tersebut. Murni, perupa kelahiran Pulukan, Jembrana, misalnya membuat lukisan dengan judul Tiga Bulan Tidak Bercinta. Lukisannya lumayan vulgar. Empat batang penis daram ukuran jumbo melintang di kanan kiri perut patung sapi tersebut. “Ide itu muncul memang karena selama tiga bulan saya ditinggal pacar,” kata Murni yang memang suka blak-blakan itu.
Pelukis lainnya antara lain Made Budhiana (lukisannya berjudul Metal Cow), Made Kaek (Sapi Mencari Cinta), I Wayan Darmika (Offering), dan lainnya. Selain pelukis perorangan, Peter juga mengundang kelompok pelukis seperti Kartunis Muda Bali, Sanggar Museum Lukisan Sidik Jari, Komunitas Pelukis Kamasan, serta SMKN 1 Sukawati.
Tak heran, berbagai gaya lukisan pun menghias pada patung-patung sapi yang dipamerkan tersebut. Ada gaya wayang Kamasan, lukisan terang dan lucu khas Penestanan, bunga-bunga Batuan, warna-warni Pengosekan, naturalis, realisits, maupun yang lucu-lucu seperti karya kartunis Bali itu tadi.
Bagi Peter, pameran ini diharpkan bisa menunjukkan pada publik bahwa Bali memiliki seniman-seniman yang tak kalah berkualitas dibanding pelukis lain di luar Bali maupun Indonesia. Karena itu, patung-patung itu dipamerkan juga di tempat tak biasa. Ada yang di mall seperti Makro, Ramayana, Matahari, dan Hero. Di Bandara Ngurah Rai, di Le Bake Shop Kuta, Warung Made Seminyak, Neka Gallery, dan tempat lain. Tujuannyaya publikasi itu tadi.
Toh, nyatanya meski di tempat publik tidak banyak yang melihat patung-patung tersebut. Di Mall Galeria Kuta misalnya hanya satu patung yang dilihat-lihat. Satunya lagi dicuekin. Menurut Adriana Paliama, 30 tahun, panitia yang menjaga patung tersebut, dalam sehari rata-rata ada 30 pengunjung yang bertanya kepadanya tentang patung tersebut.
Patung yang di Hero dan Waterbom Kuta pun sepi pengunjung. Lukisan berjudul Bali Cartoons di Hero nyaris tidak dilihat orang sama sekali. Dalam pengamatan GATRA pada Rabu pekan ini orang yang lewat hanya melihat sekilas lalu berlalu. Di Waterbom, lukisan berjudul Waterworld karya I Made Lami Pramata juga demikian. Meski terletak di Jl Kartika Plaza yang ramai lalu lalangnya bule, hanya dua tiga orang yang berhenti dan melihatnya.
Oya, penggunaan patung sapi sebagai media lukisan itu punya arti sendiri bagi Peter. Selama ini sapi selalu dianggap sebagai binatang bodoh, padahal sapi adalah hewan yang seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan manusia. “Sapi bisa untuk membajak sawah, bisa dimakan dagingnya, dimimum susunya, tapi kurang mendapat penghargaan,” katanya.
Toh, sebelum menggunakan patung sapi tersebut, Peter mengaku telah terlebih dahulu berdiskusi dengan beberapa pemangku (pemimpin agama Hindu) dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Sebab bagi umat Hindu, sapi adalah binatang yang dimuliakan. “Kalau sebatas simbol, saya rasa tidak apa-apa patung itu dijadikan media lukisan,” kata I Ketut Wiana, Ketua PHDI kepada GATRA. Kalau kemudian ada lukisan yang vulgar, kata Wiana, yang salah ya lukisannya, bukan patungnya.
Menurut Wiana, selama yang dilukis adalah hal yang benar maka tidak ada salahnya menggunakan patung sebagai media lukisan. Namun, Wiana mengaku tidak tahu apakah Peter memang telah berkoordinasi dengan PHDI sebelum melakukan pameran. Toh, menurutnya, niat di balik itu menurutnya lebih mulia. Apalagi sebagaimana dikatakan Peter, pameran ini memang berlatar belakang amal. Nantinya pada 9 Agustus, patung-patung sapi itu akan dilelang di Garuda Wisnu Kencana. “Hasilnya akan disumbangkan pada para seniman,” katanya.