Mbanyol namun Nyelekit di Darga Gallery

0 No tags Permalink 0

Didik menyindir kondisi sosial politik Jawa sebagai representasi Indonesia melalui objek lukisan anekdotis dan lucu. Padahal, dia sendiri orangnya serius.

Bukan kebetulan kalau pameran tunggal Didik Nurhadi di Darga Gallery, Sanur, Bali dibuka Jaya Suprana Sabtu pekan lalu. Pemilihan bos perusahaan jamu yang juga humorolog serba bisa itu dilakukan karena ada kemiripan tematis antara karya yang dipamerkan dengan Jaya Suprana. Keduanya segar, lucu, namun melontarkan kritik-kritik nyelekit lewat candaannya.

Enam karya Didik yaitu Pesta Balon, Pesta Ulang Tahun, Selamat Datang Demokrasi, Wake Up, Simbol dan Kenyataan, serta Bapak Poligami seluruhnya menunjukkan objek lucu dan seluruhnya berukuran 1,4 m x 2 m. Cukup besar untuk ukuran lukisan. Maka tiap dinding di galeri Darga yang tiga tingkat itu hanya memajang satu lukisan. Pameran yang berlangsung hingga 17 Januari mendatang itu menampilkan karya-karya mbanyol namun nyelekit yang berasal dari pengalanan pelukisnya sehari-hari.

Misalnya ketika pemilik restoran Warung Solo Puspo Wardoyo mengadakan Poligami Award, Didik terusik. Sebab pengalaman Puspo Wardoyo sangat kontras dengan apa yang dialami Pak RT di kampung Didik. Puspo Wardoyo hidup bahagia dengan empat istrinya yang rukun. Sementara Pak RT beristri lima itu terpaksa menjual bayinya di rumah sakit karena tidak bisa membiayai kelahirannya.

Maka pelukis kelahiran Ngawi Jawa Timur itu membuat lukisan berjudul Bapak Poligami. Karya seukuran 1,4 x 2 meter persegi itu memperlihatkan seorang suami dengan sembilan istrinya. Lima istri sedang mengerubunginya sedangkan empat yang lain sedang bercanda dengan anak-anaknya. Mereka semua bertubuh tambun dan terlihat bahagia. “Padahal, tidak semua suami yang poligami mengalami kebahagiaan seperti orang itu (Puspo Wardoyo),” kata Didik.

Didik bermaksud menyampaikan kritik melalui karyanya. Tidak hanya Bapak Poligami, lima lukisan yang lain mencerminkan hal yang sama: sinisme terhadap kondisi sosial politik di Indonesia. Tapi Didik tidak menampilkan secara frontal (demikian lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu menyebutnya). Sebab, kritik dengan cara itu sering menimbulkan antipati. Pelukis yang pertama kali pameran pada 1992 itu mengaku menggunakan realisme sosial dengan tampilan visual gemuk sebagai parodi.

Dia kemudian menyajikan kritik itu sambil “bercanda” melalui karya-karyanya. Seluruh lukisan menampilkan objek figur-figur “lucu” meski mengusung tema serius. Objek lukisan Didik seluruhnya adalah manusia bertubuh tambun dengan tatapan mata kosong, bentuk mulut melongo (seperti orang yang tidak mengerti apa-apa), berpakaian menyolok, dan sedang melakukan sesuatu seperti main-main. “Manusia yang ditampilkan Didik tidak lebih dari suatu mayarakat yang tak berdaya, atau yang tak menyadari apa yang diperbuatnya,” kata Jean Couteau, kurator pameran.

Dunia yang disajikan Didik melalui karyanya adalah dunia metafisis seperti halnya pewayangan atau ludruk. Apalagi sebagian besar karya Didik menggunakan ikon-ikon Jawa (Tengah?). Maka, pameran ini bertajuk Didik Nurhadi’s Java Land. Karya berjudul Festival Balon dan Selamat Datang Demokrasi misalnya, memperlihatkan manusia yang digambarkan Didik menggunakan tutup kepala (peci) yang biasa dipakai sultan Yogyakarta. Atau Pesta Ulang Tahun serta Simbol dan Kenyataan yang memperlihatkan ibu-ibu berkebaya Jawa. Didik menggunakan ikon Jawa untuk mengkritik kondisi sosial politik Indonesia. “Penggunaan ikon Jawa karena selama ini Jawa adalah representasi Indonesia, bukan karena saya primordial,” kata pelukis yang tidak mau disebut seniman, tapi pekerja seni ini.

Menurut Jean Couteau, dari sudut isi lukisan, Didik mampu mengangkat masalah-masalah sosial politik yang terjadi di Indonesia melalui penggunaan ikon Jawa itu dengan parodi, sinisme, dan pesimisme. Jean Couteau menambahkan, karya Didik mirip karya pelukis Kolombia Botero. Kedua seniman itu menggambarkan tokoh gemuk kekar dengan naif dan penuh humor. Namun karya Botero tidak sesarkatis karya Didik. Botero lebih sering menampilkan tokh-tokoh yang seolah berpose untuk difoto, sedangkan Didik memperagakan komposisi gambarnya lebih beraneka dan berjarak.

Lihat misalnya karya berjudul Festival Balon (bakal calon). Dalam karya itu Didik menyampaikan tiga hal sekaligus. Bagian paling kiri terlihat kerumunan rakyat biasa, digambarkan dungu tak berdaya, tapi meneriakkan dukungan untuk calon mereka. Mereka menggunakan ikat leher kuning, hijau, dan merah sebagai simbol partai Golkar, partai Islam, dan PDI Perjuangan. Tiap kelompok memanggul calon terpilih dengan sorak sorai.

Bagian tengah lukisan menggambarkan proses pengangkatan calon. Warna sudah berubah didominasi merah dengan dua sosok tubuh besar satu perempuan merah dan satu pria abu-abu gelap seperti melambangkan Megawati dan Gus Dur. Di depan mereka ada orang menggunakan genta sapi seperti menyindir politik dagang sapi di Senayan. Bagian paling kanan memperlihatkan pemimpin yang dipilih adalah orang yang bertangan besi, menggambarkan diktator.

Satir dan sinisme lewat objek bertubuh tambun itu terlihat pula dalam karya Simbol dan Kenyataan yang menggambarkan ibu-ibu (tentu saja bertubuh gemuk) sedang ngerumpi satu sama lain sambil memainkan ponsel. Di dinding, terlihat foto Kartini, pahlawan emansipasi Indonesia itu. Melalui lukisan ini Didik tengah menggambarkan kontradiksi antara simbol (Kartini) dengan kenyataan (ibu-ibu gemuk berponsel yang sedang ngerumpi).

Ketertarikan Didik pada isu sosial politik berawal sejak dia menjadi mahasiswa. Pada 1992, anak pensiunan tentara ini mendaftar di ISI Yogyakarta. Karena terpaksa, Didik harus membiayai kuliahnya sendiri. Dia hidup di lingkungan petani miskin dan kuli harian. Di dalam siutasi inilah penggemar film-film klasik ini dekat dengan aktivis kiri kampus. Hingga akhirnya dia juga masuk anggota Gelaran Budaya yang identik dengan aliran social realism.

Karya teman-temannya yang cenderung mengkritik secara frontal itulah yang membuat Didik menggunakan objek lukisan mbanyol. Padahal, dalam perbincangan dengan GATRA, bapak dua anak ini mengaku sangat serius pembawaannya. Sehari-hari dia jarang bercanda, bahkan terlalu serius. “Saya juga cepat panik,” aku Didik. Karena itu, menurutnya, lukisan-lukisan itu sekaligus menyalurkan rasa humornya.

Jumlah lukisan yang hanya enam dan berukuran besar pun bagi Didik adalah proses kritik itu sendiri. Bagi Jean Couteau, volume kuantitatif ini bisa jadi tak berarti apa-apa tapi buisa jadi adalah metafor pada yang serba besar dalam carut marut dan krisis sosial di Indonesia. Tubtuh-tubuh manusia di kanvas Didik adalah tubuh yang tambun, kanvasnya dalam ukuran besar, dan serba besar pula kebobolan yang menimpa aset bangsa: bank maupun aneka macam kekayaan bangsa.

Comments are closed.