Di antara rimbun daun dan kabut tipis, sinar matahari itu menyelusup masuk.
Semula dia hanya berupa warna jingga di ufuk timur. Pelan-pelan, dia makin merekah dan mewarnai kelabu pada kabut pagi di ketinggian Karangasem, Bali pagi itu.
Melihat bola raksasa itu beranjak naik dari sela daun-daun pohon membuat sensasi tersendiri. Terasa lebih mistis. Matahari tak bundar biasa tapi serupa kunang-kunang raksasa dengan sinar berpendar.
Kabut masih tebal. Pagi masih baru mulai. Tapi, matahari yang baru terbit seperti mengundang puncak Gunung Agung untuk keluar dari selimut kabut yang memeluknya.
Awan kelabu di sekitarnya lalu menyingkir satu per satu. Ketika matahari sudah melewati batas ufuk timur, puncak gunung setinggi 3.148 meter itu pun telrihat penuh.
Hanya sekitar 15 menit.
Setelah itu, ketika matahari beranjak naik lagi, puncak gunung tertinggi di Bali itu kembali menutup diri. Awan bergerak ke puncaknya lalu menghalangi mata manusia untuk menikmatinya. Puncak Gunung Agung kembali tertutup hingga sore hari.
Karena itulah, melihat matahari terbit di kaki Gunung Agung akhir bulan lalu itu terasa seperti sebuah romantisme, perjumpaan sebentar oleh dua orang yang saling mencintai diam-diam. Ada matahari terbit. Ada gunung yang diam berdiri anggun. Mereka hanya bertemu sebentar untuk kemudian waktu memisahkan mereka lagi.
Berada dekat di lereng Gunung Agung, saya jadi bisa menikmati romantisme tragis dan mistis matahari terbit dan puncak mahagiri tersebut. ini sesuatu yang belum pernah saya alami sebelumnya, menikmati matahari terbit di kaki Gunung Agung.
Saya tidak tahu apakah kita bisa menikmati hal serupa dari tempat lain. Tapi, saya meragukannya. Suasana itu mungkin terasa berbeda karena lokasi dari mana saya menikmatinya.
Pekan ini, saya menikmatinya dari Mahagiri, sebuah resor dan restoran di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Bahkan dari namanya pun resor ini sudah menggoda, Mahagiri Panoramic Resort and Restaurant.
Lokasi tempat ini berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Denpasar. Tepatnya sekitar 2 km dari jalan raya besar antara Denpasar – Pura Besakih melewati Kota Semarapura, Klungkung.
Begitu masuk tempat ini saya langsung melihat pemandangan sangat khas Bali, hamparan sawah di dataran lebih rendah dengan Gunung Agung sebagai latar belakang. Mahagiri memang berada di tepi bukit sehingga posisi sawah lebih rendah darinya.
Menariknya karena sawah ini berada di semacam lembah yang dikepung perbukitan. Hamparan sawah ini berpadu dengan kebun di sekitarnya berisi kelapa, kopi, kakao, dan lain-lain.
Tempat ini sangat ramai terutama pada jam makan siang. Biasanya turis-turis asing yang menuju atau balik dari Pura Besakih, kompleks pura terbesar di Bali yang juga dikenal sebagai Pura Ibu.
Restoran di Mahagiri ini berada di tempat paling pinggir bukit. Jadi, sambil mencicipi pahitnya kopi Bali dan sepotong pisang goreng pada pagi hari, kita bisa menikmati matahari terbit di sini. Atau, jika beruntung karena cuaca bersahabat, kita bisa melihat anggunnya Gunung Agung pada jam makan siang.
Tapi, ini memang semacam perjudian. Kadang-kadang ketika cuaca tidak bersahabat, seharian pun puncak Gunun Agung akan tertutup mendung. Tidak terlihat sama sekali.
Selain sebagai tempat menikmati sawah dan puncak gunung, resor milik mantan pemandu wisata ini juga menyediakan beberapa kegiatan lain untuk para pengunjung. Pengunjung yang menginap di sini juga bisa melakukan beberapa kegiatan seperti yoga dan tracking.
Untuk tracking ada pilihan jarak sedang, selama dua jam dengan memotong areal persawahan atau lima jam mengelilingi areal tersebut. Alam yang masih, udara yang masih segar, serta warga yang ramah bisa mengobati badan dan otak yang capek karena pekerjaan.
Maka, sesekali, mampirlah ke sini jika liburan di Bali. Untuk menikmati pulau ini dalam suasana sepi, bukan hiruk pikuk wisata massal ala Bali selatan.
Leave a Reply