Dua Kota Wajah Kesemrawutan Kita

0 , , Permalink 0
jogja-macet

Sumber foto www.ugm.ac.id

Imajinasi indah tentang hari tua di Solo dan Jogja pun buyar.

Dia pelan-pelan hilang dan berganti. Kedua kota ini tak lagi seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya. Setidaknya selama aku datang ke dua kota itu pekan lalu.

Dalam apa yang aku bayangkan, suasana kota masih hangat dan bersahabat. Lalu lintas juga tertib dan teratur. Dua kota pusat kebudayaan Jawa ini kan termasyhur sebagai tempat yang tenang. Tidak grasa-grusu.

Karena itu, aku pernah membayangkan, sepertinya asyik kalau sudah tua nanti tinggal di salah satu dari dua kota tersebut. Ketika anak-anak sudah kuliah di Jogja, betapa asyiknya kalau bisa menemani mereka sambil menikmati hari tua.

Tapi ya begitulah. Pengalaman pekan lalu telah membuyarkan imajinasi indah tentang keduanya. Pelan-pelan, Solo dan Jogja pun terkena penyakit kronis yang terjadi nyaris di semua kota di Indonesia, kesemrawutan.

Sekali lagi, aku hanya melihat apa yang ada di jalan. Tidak tahu lebih dalam di balik itu semua.

Pertama, dari lalu lintas. Kemacetan di mana-mana. Bahkan di gang-gang kecil pun macet. Kami yang duduk manis di dalam mobil sewaan (oh, ironis sekali) melihat bagaimana kendaraan-kendaraan pribadi saling salip, saling serobot, dan sesekali saling menyalahkan.

Persislah seperti di Jakarta dan sekarang juga terjadi di Denpasar.

Dulu, masih ada daerah-daerah yang bisa diprediksi akan lebih sepi. Mereka bisa jadi jalur alternatif jika ada kemacetan. Tapi, sekarang sami mawon. Tak ada lagi jalur-jalur tikus karena kendaraan-kendaraan pribadi menyemut di gang-gang sempit sekalipun.

Memang tidak sepanjang waktu. Puncak keruwetan pada jam orang mulai dan selesai beraktivitas. Tapi, ketika jam puncak kemacetan sudah berlalu, sepeda motor dan mobil juga memenuhi ruang-ruang kota lainnya.

Pas berkunjung ke Jogja kali ini, aku menemani empat teman jalan-jalan di Malioboro. Dan, wajah jalan ini benar-benar berubah dari wajah terakhir yang aku kenali sekitar tiga tahun lalu.

Teman-teman dari Belgia, Niaragua, Peru dan Ekuador itu pada geleng-geleng melihat lautan sepeda motor parkir di jalan utama Jogja tersebut. Sesuatu yang membuatku sadar tentang betapa sepeda motor memang sudah serupa horor di kota-kota besar di Indonesia.

Aku sendiri termasuk penyebar horor itu.

Kedua, dari wajah kota. Solo mungkin masih lebih baik, tapi Jogja benar-benar kacau untuk urusan ini. Nyaris setiap jalan di kota budaya ini justru penuh dengan sampah visual.

Di pinggir-pinggir jalan, kecil ataupun besar, baliho dan spanduk bercampur aduk. Mereka semena-mena memenuhi ruang-ruang publik dengan tulisan-tulisan ngejreng, besar, dan warna-warna menyala. Sungguh tak sedap dilihat mata.

Ini benar-benar bukan wajah Jogja yang aku kenal sebelumnya. Juga, bukan seperti Jogja yang aku bayangkan di mana aku akan tinggal di hari tua.

Aku tak tahu kenapa semua kesemrawutan itu, seperti juga hal serupa di kota-kota lain, seperti dibiarkan begitu saja. Lalu, kita sebagai warga turut serta menjadi pelaku sekaligus korbannya?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *