Patung setinggi 41 meter menjadi penutup perjalanan yang asyik.
Nama patung itu Virgen de El Panecillo. Lokasinya di puncak bukit di tengah kota Quito, ibu kota Ekuador. Karena ketinggiannya, dia mudah terlihat dari banyak tempat di Quito, termasuk dari pusat cagar budaya kota ini.
Dari puncak bukit di mana patung tersebut berada, terlihat seluruh kawasan Quito, di sisi utara ataupun selatan dari bukit.
Petang itu, matahari sudah beranjak pulang. Hari mulai gelap. Namun, ketika hari makin gelap, di bawah sana kelap-kelip lampu kota mulai menghadirkan warna-warni.
Sekitar 15 menit sebelumnya, kami masih menjelajah bangunan-bangunan tua dan terawat di Pusat Sejarah Kota Quito. Kawasan dengan nama resmi Centro Historico alias Pusat Sejarah ini berada di urutan pertama daftar objek wisata kota ini.
Begitu pula bagi Claudia van Gool, teman di Ekuador yang jadi tuan rumah dan pemandu kali ini. Bersama Adriano, sopir yang sehari sebelumnya juga menjemput saya di bandara, kami pun menuju Centro Historico pada Senin siang, hari kedua saya di Ekuador.
Apa menariknya Centro Historico?
Nanti dulu. Saya cek dulu di Wikipedia dan referensi yang disediakan dalam brosur resmi Pemerintah Kota Quito. Hal menarik bagi saya dalam catatan tersebut adalah klaim bahwa kawasan seluas 320 hektar ini merupakan pusat sejarah paling luas dan terjaga di Amerika.
Pusat sejarah Quito ini merupakan Situs Budaya Dunia yang pertama kali diakui UNESCO pada 18 September 1978 bersama pusat sejarah Krakow di Polandia.
Hmmm, sepertinya menarik. Sebagai penyuka wisata sejarah, saya selalu menikmati perjalanan ke tempat-tempat semacam ini.
Begitu tiba di Centro Historico, klaim ala Wikipedia atau brosur pariwisata lokal itu memang ada benarnya.
Ada sekitar 130 bangunan tua di mana Kota Quito bermula ini. Bangunan-bangunan tua tersebut antara lain gereja, istana presiden, sekolah, dan lain-lain. Bangunan paling banyak adalah gereja. Di salah satu jalan saja, bahkan ada tujuh gereja.
Saya tidak ingat satu per satu namanya. Bentuk dan interior mereka pada umumnya mirip. Ada yang mirip Katedral di Indonesia atau Notre Dame di Paris. Quito memang terkenal sebagai kota Katolik.
Satu gereja yang paling berkesan menurut saya adalah Gereja La Compania de Jesus. Ketika gereja-gereja tua lain bebas dimasuki turis, gereja ini tidak. Dia tertutup. Tidak terlihat dari luar. Pengunjung boleh masuk tapi harus bayar $ 5.
Hal ini justru membuat saya penasaran. Apa bedanya kok sampai harus bayar untuk masuk. Mumpung di tempat di mana seumur hidup saya belum tentu ke sini lagi, saya pun rela membayar $ 5 meskipun untuk masuk gereja lain gratis.
Tapi, belum masuk, saya sudah kecewa. Begitu bayar tiket, saya diberitahu oleh petugas bahwa tak boleh memotret. “Takut lukisan-lukisannya ditiru,” kata pemandu. Aduh. Segitunya.
Apa boleh buat. Saya pun masuk dan menikmati lukisan-lukisan di dinding gereja yang berlapiskan emas tersebut. Gereja ini memang berbeda. Atap dan dindingnya penuh dengan lukisan realis tentang para Santo, surga, neraka, dan semacamnya.
Sayangnya, pemandu tak terlalu fasih Bahasa Inggris dan saya juga tak terlalu paham sejarah Yesus Kristus. Jadi iya iya saja. ?
Dari Gereja La Compania de Jesus, perjalanan berlanjut ke tempat lain. Kami terlebih dulu menikmati jajanan lokal sebelum kemudian berlanjut ke tempat di mana patung Virgen de El Panecillo berada.
Setelah menikmati Kota Tua Quito, bukit di mana patung setinggi 41 meter ini memang tepat sekali untuk menutup perjalanan menikmati Quito. Setelah melihat sejarah, sekarang melihat sendiri betapa luas dan berkembang kota dengan penduduk sekitar 2,5 juta tersebut.
Leave a Reply