Banyak sekali kemiripan antara dua negara tersebut, Ekuador dan Indonesia.
Begitu pula ketika saya dalam perjalanan dari Quito, ibu kota Ekuador ke Provinsi Esmeraldas di sisi barat negara ini. Sepanjang jalan selama sekitar enam jam hingga tiba di Esmeraldas, begitu banyak kesamaan terlihat.
Persamaan pertama dari lansekap.
Ketika keluar dari Metropolitan Quito, saya seperti mengunjungi Kintamani karena banyak gunung tinggi menjulang. Tapi yang lebih mirip mungkin lansekap di daerah Gunung Bromo karena di sana terdapat beberapa gunung tinggi.
Gunung yang terkenal di sini adalah Chimborazo. Bentuk gunungnya serupa Gunung Bromo. Serupa kerucut. Kering dan tandus. Terlihat seperti dataran padang pasir.
Sekitar 1 jam setelah perjalanan dari Quito ke Esmeraldas, kami melewati titik yang disebut sebagai pusat bumi. Ada monumen pusat bumi di sini berupa bola dunia bundar. Ada pula museum dengan bentuk serupa kubus. Beberapa referensi menyebutkan, inilah titik terdekat antara bumi dengan bulan.
Sayangnya kami tak bisa berhenti di sini. Perjalanan ke Esmeraldas masih panjang, sekitar lima jam lagi.
Setelah melewati titik Pusat Bumi itu, kami melewati pegunungan berkabut dan berliku-liku. Di sini lebih tinggi dan banyak kabutnya. Namun, lansekap itu mengingatkan pada Flores terutama antara Ruteng – Ngada.
Persamaan kedua dari tumbuh-tumbuhan.
Aneka tumbuhan tumbuh subur di kanan kiri jalan yang mulus antara Quito – Esmeraldas. Menariknya karena hampir semua pohon tersebut, amat akrab di mata. Agak beda, misalnya jika dibandingkan antara Indonesia dan Vietnam.
Beberapa tumbuhan seperti jati, ketapang, bambu, dan semacamnya tumbuh subur sepanjang jalan. Di beberapa tempat bahkan ada pula hutan jati yang dipelihara sebagai investasi layaknya di Jawa dan Bali.
Begitu pula dengan rumput-rumputnya. Saya lihat ilalang juga tumbuh subur dan hijau di Ekuador.
Satu hal yang amat jarang saya temukan di Indonesia adalah burung-burung di sepanjang perjalanan. Burung-burung tersebut, kata Luis teman di sini, adalah komodor yang juga menjadi lambang negara Ekuador.
Mereka banyak sekali. Sering kali sendiri tapi kadang dalam rombongan. Terbang. Berputar-putar seperti mengintai mangsa di atas rimbun hutan.
Persamaan ketiga adalah makanan.
Serius. Saya bahkan sama sekali tidak menduga bahwa makanan Ekuador begitu mirip dengan makanan ala Indonesia. Makanan paling terkenal di sini ataupun Peru adalah chevice. Dia serupa sup dingin dengan isi udang, jeruk nipis, dan saus tomat.
Chevice mungkin tak terlalu mirip dengan menu Indonesia. Tapi menu lain ada caldo dan sopa yang amat mirip soto. Ada pula menu dengan kuah yang amat mirip dengan kare jika di Indonesia. Namanya encocados. Inilah menu favorit saya selama di Ekuador. Dia terbuat dari kuah santan. Gurih. Segar. Mak nyus!
Kuah santan ini disajikan dengan aneka lauk seperti ikan laut, udang, atau kepiting. Saya coba semua. Dan rasanya memang sangat mirip dengan kuah kare, salah satu makanan favorit saya sejak kecil di Indonesia.
Satu hal yang paling penting, makanan Ekuador selalu pakai nasi baik siang maupun malam. Rasa nasinya juga Indonesia bangetlah. Mirip uduk atau nasi gurih karena dimasak dengan sedikit garam.
Miripnya kuliner Ekuador ini membuat perut dan lidah Indonesia akan terasa di rumah sendiri. Hal yang bahkan tak saya temukan di negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, dan Singapura.
Persamaan keempat adalah wajah orang-orangnya.
Secara umum, Ekuador terdiri dari tiga etnis utama yaitu Mestizo, Indian, dan Afrika. Mestizo adalah nama untuk etnis campuran antara Eropa dan Indian. Etnis ini paling banyak, lebih dari 71 persen. Indian adalah etnis asli sebelum negara ini dijajah bangsa Spanyol pada abad 18.
Adapun etnis Afrika terutama di kawasan pantai, termasuk Esmeraldas di tepi barat. Mereka berkulit hitam dan berambut keriting. Di luar tiga etnis utama itu juga ada beberapa etnis lain.
Entah etnis yang mana, namun wajah-wajah yang saya lihat di Ekuador juga banyak yang mirip wajah orang Melayu atau Indonesia pada umumnya. Kulit cokelat. Mata biasa, tidak sipit. Hidung tak terlalu mancung. Rambut lurus.
Karena itu, menurut teman di sini, wajah saya pun tak terlalu asing bagi warga lokal. Mereka cuek ngajak ngobrol dalam Bahasa Spanyol. Saya cuma jawab, “No Spanish. Only English..”
Empat hal di atas hanya sebagian dari kesamaan Ekuador dan Indonesia. Saya tak tahu kenapa begitu banyak kemiripan. Cek kali cek, bisa karena dua negara ini terhubung oleh garis Khatulistiwa. Ekuador sendiri memang dari kata Equator, bahasa Inggris dari garis Khatulistiwa.
Mungkin garis inilah yang membuat alam dan manusia dua negara ini mirip satu sama lain. Mungkin..
Leave a Reply