Tidak ada enaknya liputan tentang bencana.
Begitu pula ketika liputan korban putusnya jembatan penghubung di Nusa Lembongan, Senin kemarin. Canggung sekali saat wawancara para korban atau keluarga korban.
Jembatan penghubung Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan itu disebut dengan dua nama populer: Jembatan Kuning, sebagaimana warnanya, atau Jembatan Cinta merujuk pada fungsinya yang lain, tempat kencan dan foto-foto menjelang pernikahan.
Minggu petang, saat odalan di Pura Bakung, Nusa Ceningan dan sehari setelah Hari Nyepi Segara di dua pulau tersebut, jembatan itu runtuh.
Delapan korban tewas. Tiga puluh empat luka-luka. Begitu informasi dari grup WhatsApp wartawan siaga bencana.
Senin pagi, aku pun harus liputan ke sana. Tujuan yang aku rencanakan: lokasi jembatan, rumah korban, dan warga lainnya.
Tapi, rencana berubah di pagi hari ketika aku berangkat dari Sanur. Ada tiga anggota Disaster Victim Identification (DVI) Polda Bali yang berangkat satu kapal sama aku. Kenalan dan ngobrol sebentar, mereka memperbolehkan aku untuk ikut bareng mereka.
Sepertinya asyik untuk meliput proses bagaimana identifikasi korban mereka lakukan. Namun, ternyata pas sampai di Nusa Lembongan, tak ada satu pun korban yang tidak dikenali. Tim DVI tak perlu bekerja.
Kami pun hanya mampir ke Puskesmas Nusa Penida II. Ada bagusnya datang bersama Tim DVI. Jadi lebih mudah untuk wawancara dengan pihak rumah sakit, menanyakan proses pertolongan dan identifikasi para korban. Semalam mereka bekerja sampai 2.30 pagi. Tak ada lagi korban di rumah sakit.
Setelah sekitar 30 menit di sana, kami menuju lokasi jembatan runtuh. Aku masih naik sepeda motor, tim DVI Polda Bali dengan mobil bak sewaan.
Di tengah jalan ada rombongan bupati lewat berlawanan dengan kami. Aku langsung balik kanan. Sepertinya lebih bagus ikut rombongan bupati untuk mengunjungi rumah para korban. Apalagi aku memang berniat wawancara pejabat untuk tahu tentang tanggung jawab mereka terhadap para korban ataupun pembangunan jembatan itu sendiri.
Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengunjungi korban di Desa Jungutbatu. Ada keluarga kehilangan dua anggota keluarganya, ibu dan anaknya.
Terus terang aku tak terbiasa liputan korban bencana semacam ini. Canggung rasanya. Tak nyaman. Aneh sekali rasanya harus bertanya-tanya, memotret, dan ada di antara orang-orang sedang berduka. Bingung juga mau tanya apa ke mereka.
Masak mau dengan polosnya tanya ke keluarga korban, “Bagaimana perasaan Bapak setelah anak dan istri jadi korban?”
Mendadak aku jadi ingat para reporter televisi yang liputan korban banjir atau kecelakaan dan menanyakan perasaan para korban. Siaran langsung dari tengah lokasi bencana pasti jauh lebih menegangkan.
Untunglah kali ini si bapak mau sedikit demi sedikit bercerita. Tentang sehari sebelum kejadian. Tentang larangan pada anak istri agar tidak pergi. Tentang tuntutan dia pada pemerintah.
Liputan bencana begini ternyata harus (tega dan) sabar menggali informasi.
Tapi, rasa tidak tega itu kemudian muncul lebih parah lagi saat wawancara seorang ibu yang kehilangan dua anak gadisnya. Bagaimana dia dengan mata sembap karena tangis bercerita saat dia jatuh dari jembatan, mencari-cari dua anaknya, lalu menemukan salah satu anaknya saat sudah tak bernyawa.
Sumpah. Rasanya tidak enak banget bertanya-tanya lebih banyak pada si ibu yang sedang berduka. Cerita-cerita sedih begini, semoga cukuplah kali ini saja aku meliputnya.
Leave a Reply