Sekitar dua minggu lalu, Dek Didi “meracuni” kami.
Teman di Bali Blogger Community (BBC) itu mengunggah foto cantik sebuah tempat wisata di daerah Tegalalang, Gianyar. Begitu ketemu dia, kami pun bersemangat 45 bertanya tentang tempat itu.
Nama tempat keren itu Agrowisata Bali Pulina.
Awal bulan lalu, kami pun ke lokasi tersebut. Dalam perjalanan libur akhir pekan menuju Kintamani, kami mampir ke sana. Lokasi persisnya di Banjar Pujung Kelod, Desa Sebatu, Tegalalang. Sekitar 500 meter dari objek wisata terasering sawah di Ceking, Tegalalang. Di kiri jalan ke arah Kintamani.
Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa tempat wisata berbasis pertanian serupa Bali Pulina. Namun, ada satu hal amat menggoda di Bali Pulina yang belum pernah kami lihat di tempat lain sebelumnya, panggung terbuka di atas tebing.
Untuk bisa menikmati keindahan itu, kami harus membayar tiket masuk Rp 100 ribu per orang. Lumayan mahal untuk ukuran objek wisata di Bali.
Tapi ya tak apa. Ikhlasin saja. Toh buat warga lokal sendiri. Hitung-hitung untuk dukungan terhadap pariwisata berbasis pertanian.
Btw, soal tiket ini sebenarnya tidak terlalu jelas. Dek Didi yang juga pemilik usaha pariwisata mengatakan warga lokal tak harus bayar. Dia bilang tamu lokal bisa gratis masuk. Nyatanya, kami kena juga bayar tiket meskipun jelas wajah bukan bule atau oriental.
Setelah bayar tiket, kami menyusuri jalan setapak di antara rimbun pohon kakao. Jalan yang sebenarnya juga pematang kebun itu menghubungkan tiap bagian di Bali Pulina.
Menyusuri jalan itulah kami, para pengunjung, bisa menikmati apa saja yang dimiliki Bali Pulina. Kebun kakao. Tanaman obat. Pohon kopi. Luwak dalam kandang. Orang menyangrai kopi.
Di ujung jalan terdapat bangunan tempat istirahat. Balai memanjang dengan kapasitas sekitar 20 orang ini berada di atas tebing. Sambil duduk di sini, kami bisa menikmati tebing di seberang lembah. Ada sekitar 20 are sawah di bagian paling bawah lembah tersebut. Ada pula Pura kecil di sana.
Pekerja di Bali Pulina akan menyediakan delapan cangkir minuman dengan banyak pilihan, seperti kopi, cokelat, vanila, teh, dan lain-lain. Enak banget menikmati minuman ini sesuai selera sambil melihat lembah dan tebing di seberang.
Tapi ada yang kami kemudian baru tahu. Ternyata minuman di cangkir kecil itu hanya contoh minuman yang mau kita pesan. Pelayan akan membawakan porsi lebih besar sesuai pilihan pengunjung.
Setelah rehat sebentar menikmati minuman sesuai selera, kita bisa lanjut ke pesona utama Bali Pulina, panggung tinggi bernama Kembang Kopi. Seperti namanya, panggung dari kayu ini memang serupa bunga. Bentuknya unik.
Panggung ini berdiri di atas tebing, disangga tiang-tiang kayu dan pohon. Di atasnya, kita bisa lebih leluasa menikmati suasana. Ternyata di bawahnya ada beberapa gazebo dan vila juga.
Banyak hal menarik di Bali Pulina. Namun yang paling mearik menurut saya sih bagaimana tempat ini bisa memadukan pertanian dan pariwisata. Kebun-kebun di sana tidak harus diubah dan dieksploitasi untuk memuaskan turis. Hanya dibuat lebih rapi dan tertata agar enak dilewati.
Saya hanya tidak suka dengan bagaimana mereka mengurung luwak untuk memperlihatkan proses pembuatan kopi termahal di dunia, kopi luwak. Seharusnya luwak-luwak itu dibebaskan. Jika toh mau dikandangkan, cukup diberi pagar di kebun, bukan dikurung dalam kandang kecil.
Kecuali luwak yang dikandangkan itu, tempat ini asyik.
Seharusnya beginilah model yang dikembangkan di Bali. Bali Pulina memang bukan satu-satunya. Banyak contoh lain di Jatiluwih, Bedugul, Plaga, Sibetan, dan masih banyak lagi. Tempat-tempat seperti ini seharusnya lebih banyak diangkat dan didukung.
Agar pariwisata Bali tak mengorbankan pertanian. Biar gemerincing dolar tak hanya menumpuk di Bali selatan.
Leave a Reply