Tentang Desa di Persimpangan Jalan

0 , , Permalink 0

Berjarak sekitar 2 km dari pesisir utara Jawa membuat kampung halamanku, Mencorek, sangat panas. Dibanding Denpasar, tempat tinggalku sekarang, desa di bagian utara Kabupaten Lamongan ini jauh lebih panas. Tak heran, pas aku mudik pekan lalu, tanah di sawah sebelah rumahku sampai retak. Oktober ini lagi panas-panasnya.

Kalau siang, meski semua pintu sudah dibuka, kami masih pakai kipas. Pas aku main ke beberapa rumah, ternyata hampir semua rumah punya kipas angin. Barang ini seperti jadi salah satu barang wajib, selain TV, di tiap rumah.

Tapi kadang-kadang panas dan kering itu seperti tak hanya fisik. Melihat remaja-remaja yang lebih suka mabuk dibanding bekerja, cari ribut daripada cari duit, kadang-kadang seperti melihat sesuatu yang kering. Tinggal menunggu jatuh ketika ada angin. Atau kerontang. Gersang..

Maka, ketika tahun ini ada anak-anak muda, rata-rata di bawah 20 tahun, mengadakan kegiatan Pesantren Kilat dengan sebagian materi tentang bagaimana remaja bisa berperan, aku seperti minum es di siang bolong. Sueger..

Sayangnya sih kegiatan ini tak sepenuhnya mendapat dukungan dari generasi tua di desa kecil ini. Seperti biasa. Selalu ada alasan untuk tidak terlibat atau bahkan sekadar mendukung. Seperti nama aslinya, Mencurek dari kata mencu diurek-urek alias gundukan tanah yang dikorek-korek, desaku ini memang terus saja mengalami konflik diam-diam. Antar keluarga, antar warga, dan seterusnya.

Secara fisik, desa dengan penduduk tak sampai 500 jiwa ini memang berubah. Tahun ini aku tidak perlu lagi cari selang untuk mengalirkan air dari sumur tetangga ke rumah. Air asin di rumahku sudah berganti air tawar segar dari sumber air di bagian atas desa. Pemerintah sudah membangun saluran air bersih. Air yang aku pakai mandi di rumah sekarang bisa juga untuk air minum.

Sangat jauh dibanding, katakanlah, sebelas tahun lalu. Ketika kutinggalkan, desa ini belum punya listrik. TV, meski hitam putih, masih jadi sesuatu yang langka. Kini, sebaliknya, rumah tanpa antena di atasnya adalah hal yang langka.

Tapi ya itu, secara tak kasat mata, desa ini masih menyimpan banyak masalah. Entah sudah berapa lama tanpa kepala desa. Anak-anak mudanya banyak yang tidak bekerja. Konflik diam yang tak berkesudahan.

Maka, aku masih menyimpan mimpiku. Suatu saat kembali ke sana. Memperbaikinya dengan apa yang aku punya dan bisa. Bagaimana, Bani dan Bunda?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *