Kabut pekat mengiringi perjalanan mendaki hingga Bedugul.
Daerah ini memang nyaris selalu berkabut dan dingin. Begitu pula sore itu ketika aku naik sepeda motor dari Singaraja melewati jalan berliku mendaki ke tempat ini.
Gerimis. Kabut. Dingin.
Sambil duduk di atas motor aku sudah membayangkan enaknya secangkir kopi. Niat rehat sambil ngopi di Jalan Raya Wanagiri, jalan tertinggi sebelum kemudian mulai menurun masuk kawasan Bedugul dari arah Singaraja, pun aku batalkan.
Aku bayangkan sesuatu yang lebih nikmat dan menyenangkan, duduk manis di pinggir Danau Buyan. Sekalian ngobrol tentang pendangkalan yang makin parah di salah satu dari tiga danau di kawasan Bedugul tersebut.
Lumayan, sambil menyelam minum kopi.
Tapi, bayangan nikmatnya kopi itu langsung modyar begitu aku memesan kopi di warung persis di pinggir danau. “Sing ada kopi Bali, Gus. Ane kene gen ada,” kata si ibu pedagang di warung ketika aku memesan kopi bali sore itu.
Tidak ada kopi bali, seperti yang aku pesan. Tidak ada kenikmatan di balik pekat dan hitamnya kopi lokal yang disajikan dengan sederhana. Pedagang itu hanya punya kopi instan dalam beragam merek nasional dan internasional: ABC, White Coffee, Nescafe, dan semacamnya.
Betapa ajaibnya. Aku tidak menemukan kopi bali di tanahnya sendiri.
Jadilah, dengan agak terpaksa, aku memilih kopi susu instan. Lalu, nyeruput kopi sambil melihat pendangkalan Danau Buyan yang makin parah. Sekalian mengingat-ingat betapa dangkalnya pembelaan terhadap produk lokal di Bali.
Pada hari yang sama, sekitar pukul 7 pagi, aku masih di Desa Amed, sisi timur Bali. Jaraknya sekitar 110 km, hampir tiga jam perjalanan dengan motor, dari Danau Buyan. Tapi, aku juga menemukan hal serupa.
Setelah jalan-jalan menyusuri pantai, aku berhenti untuk ngopi di salah satu warung memesan kopi bali. Kopinya sih ada tapi temannya tidak ada. Betapa nikmat jika kopi bali itu ditemani jajanan lokal, semacam pisang goreng, jaja sumping (naga sari), ubi, pisang rebus, atau apalah jajan lokal lainnya.
Tapi itu percuma. Susah sekali menemukan jajanan lokal semacam itu di Amed. Aku bahkan belum pernah menemukan sama sekali, termasuk di desa tetangganya, Tulamben. Sama susahnya dengan menemukan pedagang yang jualan makanan khas, misalnya ikan bakar khas Amed atau Tulamben.
Di skala lebih luas, hal serupa terjadi di banyak tempat. Aku mengalaminya berkali-kali, susah sekali menemukan makanan khas Bali di pulaunya sendiri.
Sekitar lima tahun lalu, dalam perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar setelah mudik Lebaran, kami setengah mati mencari warung khas Bali. Tentu saja yang non-babi karena aku tidak makan babi.
Setelah seminggu di Lamongan, kami sekeluarga mau menikmati menu khas Bali. Ayam betutu, nasi campur, sambal matah, atau apalah yang khas Bali. Tapi, sepanjang perjalanan itu kami tidak menemukan sama sekali. Ketika di Mengwi baru kami ketemu warung ikan bakar.
Pengalaman lain terjadi ketika aku menuju Tulamben tahun lalu. Pagi-pagi aku pengen banget sarapan blayag karangasem, menu semacam ketupat lonjong dengan kuah santan. Sudah terbayang nikmat, lembut, dan pedasnya blayag ini.
Eh, ternyata tidak ada satu pun warung blayag karangasem dari Denpasar hingga Tulamben. Ada satu warung di Candi Dasa, tapi belum buka. Ada satu lagi tempat kami biasa makan di Kota Amlapura tapi kami tidak bisa mampir karena agak belok dari jalur yang kami lewati.
Jadilah, aku kemudian menelan air liur kembali sambil menahan heran dalam hati, “Kenapa susah sekali menemukan makanan khas Bali di pulaunya sendiri?”
Leave a Reply