Hingga ujung timur Bali pun, baliho itu terpasang.
Baliho dengan pesan sama kuatnya dengan ratusan atau mungkin bahkan ribuan lainnya di penjuru pulau ini, Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Batalkan Perpres No 51 tahun 2014.
Gambarnya saja yang sedikit berbeda. Pada umumnya, baliho penolakan itu bergambarkan Pulau Bali dikeruk ekskavator atau kepalan tangan kiri. Warna dominan hitam dan merah.
Namun, kali ini baliho itu bergambar lebih lembut. Pulau Bali dalam warna hijau dan Pura berwarna cokelat dengan latar belakang kuning tua. Lebih teduh dibanding pada umumnya baliho tolak reklamasi Teluk Benoa yang biasanya “garang”.
Baliho itu terpasang di ujung timur Bali. Persis di pinggi jalan raya antara Desa Tulamben dan Kubu, Karangasem.
Sebelumnya, di desa tetangga, aku menemukan baliho serupa. Gambarnya kepalan tangan kiri menghancurkan alat pengeruk. Di atasnya ada lelaki Bali meloncat dengan tongkat di tangan kanan dan tameng di tangan kiri. Dia memukul ular besar.
Baliho dengan desain gambar dari Gus Dark, teman yang juga kartunis itu, berada di Desa Culik, Kecamatan Abang. Namun, baliho dengan pesan dan gambar sama kemudian aku temukan juga di Desa Tianyar, berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari Tulamben.
Kemarin, perjalananku memang memutar Bali di sisi timur. Dari Denpasar ke arah Karangasem di timur lanjut ke Singaraja di bagian utara. Hanya pengen jalan-jalan sendiri sambil liputan ke tiga tempat.
Sepanjang jalan itulah aku jadi bisa melihat sendiri betapa semangat melawan reklamasi Teluk Benoa itu memang telah menjalar ke hampir semua tempat di Bali. Sesuatu yang aku sendiri bahkan tidak penah bayangkan akan terjadi.
Gerakan menolak rencana reklamasi Teluk Benoa bermulai dari belasan orang tiga tahun silam. Ketika itu bahkan nama pun tidak ada. Perangkat aksinya juga amat sederhana, spanduk putih kosong. Di sana siapa saja bebas menulis suara apapun yang menolak rencana reklamasi seluas 700 hektar tersebut.
Namun, para penggerak perlawanan ini memang bermental baja. Mereka terus bergerak dalam sunyi maupun gegap gempita. Bergerilya dalam sunyi ketika mendekati simpul-simpul perlawanan dari kalangan sesama aktivis, musisi, masyarakat adat, dan kemudian meluas ke penjuru Bali dan bahkan luar Bali.
Di balik perlawanan ini, ada orang-orang yang terus bergerak. Sesekali seperti ABG patah hati karena dinamika internal gerakan namun kemudian bangkit dan melawan kembali.
Ada juga para pekerja budaya, seperti desainer, musisi, seniman, dan mereka yang menjadikan seni tak hanya sebagai produk kebudayaan tapi juga alat perlawanan. Dari mereka lahir karya-karya agitasi semacam poster-poster yang kemudian disebarluaskan melalui media sosial.
Ada juga orang-orang semacam aku yang hanya sesekali sinis dan nyinyir plus sok tahu tentang gerakan.
Tentu saja pada ujungnya ada masyarakat adat dan para pemuda banjar. Setelah tiga tahun gerakan perlawanan rencana reklamasi, merekalah energi baru dan kekuatan yang terus membesar.
Dari hanya satu dua desa adat, saat ini sudah hampir 20 desa adat. Dari hanya belasan orang, kini sudah puluhan ribu yang bergabung dalam barisan. Suara-suara mereka seperti tak bisa dibungkam ketika para petinggi di Bali justru pura-pura bisu dan tuli terhadap suara rakyatnya sendiri.
Leave a Reply