Tadinya aku mau like dan share status di Facebook itu.
Namun, aku batalkan niat itu. Perasaanku justru campur aduk. Antara malu dan mau nangis melihat apa yang diunggah teman-teman di Facebook itu.
Foto-foto itu memperlihatkan perjuangan yang amat memilukan. Sembilan perempuan petani dari Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah melakukan aksi menyemen kaki di depan Istana Negara. Aksi itu sebagai simbol perlawanan terhadap pembangunan pabrik semen di desa mereka.
Perlawanan itu sendiri sudah tiga tahun berjalan. Warga desa, orang-orang kebanyakan, bukan para aktivis gagah perkasa, melawan perusahaan semen yang dianggap akan merusak lahan pertanian mereka.
Berbagai aksi perlawanan sudah mereka lakukan. Demonstrasi, blokade jalan, jalan kaki ke Istana Negara, bahkan menggugat di pengadilan. Namun, pembangunan pabrik semen di pegunungan kaya sumber-sumber air itu tetap berjalan.
Bagiku, di antara sekian perlawanan tersebut, aksi menyemen kaki ini yang paling menyayat hati. Membuatku mbrebes mili. Ibu-ibu petani berpakaian sederhana ala Jawa dengan kebaya, batik, selendang, dan caping petani. Kaki mereka dimasukkan ke kotak yang kemudian disemen.
Ini perlawanan yang begitu simbolik dan memilukan.
Ibu-ibu yang seolah-olah pasrah karena perlawanan yang belum juga mereka menangkan justru mengirim pesan begitu kuat, lihatlah kami yang terpasung karena pabrik-pabrik semen kalian mematikan lahan-lahan subur kami.
Lalu, aku yang merasa mendukung perjuangan mereka hanya duduk manis di depan laptop, klak klik klak klik, namun merasa sudah membantu perjuangan itu. Aduh, aku malu hanya bisa melakukan itu.
Ibu-ibu yang melawan dengan aksi simbolik itu telah membukakan mataku. Bahwa kepedulianku hanya omong kosong.
Lihatlah, aku bahkan tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di sana. Saat menulis ini pun aku tidak tahu detail kejadian di Rembang itu. Selama ini aku hanya mengikuti dari media sosial dan media massa. Tidak pernah satu kali pun mendukung dengan aksi nyata selain hanya eksis di dunia maya.
Toh, dengan gagah berani aku seolah-olah tahu dan tentu saja juga seolah-olah peduli pada apa yang mereka perjuangkan dengan like dan share status tersebut.
Maka, mohon maaf, Ibu-ibu. Aku membatalkan niat untuk like dan share foto ataupun foto-foto di Facebook itu. Bukan karena tak mendukung aksi ibu-ibu itu. Aku hanya merasa sangat malu pada kalian yang berani melawan itu.
Aku malu, Bu. Betapa orang-orang seperti aku, anak-anak muda yang penuh tenaga, kelas menengah yang punya daya, nyatanya hanya bisa like dan share status tentang perjuangan ibu-ibu. Betapa kami begitu lemah dan cemen dibanding kalian, perempuan-perempuan tangguh yang berani melawan itu.
Maafkan aku, Bu. Tidak jadi like dan share foto-foto aksi kalian di media sosial. Kali ini, izinkan aku menulis permintaan maaf saja untuk mengingat dan menghormati apa yang telah kalian perjuangkan..
Leave a Reply