Sebagian ruangan di Puskesmas Jatiluwih kini berganti fungsi.
Ruangan tersebut tak lagi menjadi tempat bagi orang sakit tapi berubah jadi kantor Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih. Sehari-hari, lembaga ini mengatur keluar masuknya turis di Jatiluwih, terutama dari sisi pendapatannya.
Jatiluwih kawasan terasering sawah di kaki Gunung Batukaru, Tabanan, Bali. Jaraknya sekitar 1,5 jam perjalanan dari Denpasar.
Manajemen Operasional ini bekerja di bawah organisasi lain bernama Badan Pengelola DTW Jatiluwih. Ketua Umum Badan ini adalah Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti.
Tiga staf Manajemen Operasional DTW Jatiluwih menyambut ketika saya ke sana akhir bulan lalu. Ruangan ini serupa ruang penerima tamu. Dua staf laki-laki segera masuk ke ruangan lain di belakang. Seorang ibu paruh baya yang duduk di satu-satunya meja di ruangan itu mempersilakan saya duduk. Nadanya terasa menekankan bahwa dia punya kuasa di situ.
Dia memang pejabat tertinggi di sana pada saat saya berkunjung. Jabatannya Ketua Divisi Umum dan Kepegawaian Manajemen Operasional. “Semua urusan terkait dengan Jatiluwih harus lewat kantor ini,” katanya. Karena itu, menurut dia, saya juga harus meminta izin kalau mau wawancara di sana.
Untungnya sih saya sudah janjian dengan Pekaseh (Ketua) Subak Jatiluwih sebelumnya. Jadi, saya tak perlu repot dengan birokrasi di sini.
Dari dua jendela di ruangan ini, saya bisa menikmati indahnya sawah-sawah di Jatiluwih. Karena keindahannya inilah Jatiluwih ditetapkan sebagai salah satu desa wisata oleh pemerintah Bali sejak 1992. Sejak itu, turis pun makin banyak berkunjung ke kawasan setinggi 500 – 1.000 meter di atas permukaan laut ini.
Pesona utama Jatiluwih terletak pada sawah-sawah yang berundak, naik turun membentuk terasering. Dengan kontur naik turun, hamparan sawah ini memikat mata. Suasana sejuk dan asri menambah daya tariknya.
Di balik pesona sawah seluas 303 hektar itu, ada 355 petani yang berjibaku untuk mempertahankan keindahan Jatiluwih. Sebagai petani, mereka pula yang mengelola saluran subak di kawasan ini.
Berkat teknologi tradisional ribuan tahun bernama subak inilah Jatiluwih terkenal sebagai ikon subak. Padahal, semua sawah di Bali menggunakan teknologi subak yang sama. Jatiluwih identik sebagai simbol subak di Bali.
Karena keunikan teknologi subak inilah maka Badan PBB yang menangani kebudayaan dan pendidikan, Unesco, menjadikan subak sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD) pada 2012 lalu. Jatiluwih masuk sebagai salah satu kawasan subak WBD bersama daerah lain seperti Pura Taman Ayun di Mengwi, aliran Tukad Pakerisan di Gianyar, dan Danau Batur, Bangli. Semua dalam satu garis subak.
Namun, penetapan ini serupa simalakama. Niat baik Unesco untuk membuat subak sebagai salah satu budaya yang dilestarikan justru dijawab pemerintah lokal semata sebagai daya tarik wisata. Turis berdatangan. Dari semula hanya sekitar 150 menjadi 300-an orang per hari.
Pemerintah menetapkan tarif bagi turis yang masuk Jatiluwih. Besarnya dari Rp 5.000 untuk turis domestik anak-anak hingga Rp 20.000 untuk turis asing dewasa. Menurut hitungan kasar, tiap hari ada uang masuk Rp 3 juta.
Per bulan jadi sekitar Rp 90 juta.
Lalu ke mana uang itu lari? Mengacu pada perjanjian antara Pemkab Tabanan dengan Desa maupun Subak di Jatuluwih, maka pendapatan tersebut lari ke Pemkab Tabanan 45 persen sedangkan desa dan subak 55 persen.
Dari 55 persen untuk desa dan subak dibagi lagi: Desa Dinas Jatiluwih 25 persen, Desa Adat Jatiluwih 30 persen, Desa Adat Gunung Sari 20 persen, Subak Jatiluwih 21 persen, Subak Abian Jatiluwih 2 persen, dan Subak Abian Gunung Sari 2 persen. Subak Abian adalah subak di tegalan.
Tentu saja petani senang dapat uang. “Kami jadi memiliki pendapatan tetap untuk subak,” kata Nyoman Sutama, Pekaseh Subak Jatiluwih.
Namun, ketika turis makin banyak berdatangan, subak sendiri tak terlalu diurus. Menurut Sutama, dari total 40 km saluran irigasi subak di kawasan ini, hanya 30 persen dalam kondisi bagus. Sisanya rusak karena sudah tua. Ada pula yang jebol seperti yang saya lihat di Subak Kedamian.
Kata Sutama, pelestarian subak tak bisa hanya mengandalkan uang.
Subak terkait erat dengan tiga unsur yaitu Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan). Namun, sejauh ini, pemerintah hanya melihat subak dari kaca mata pariwisata, belum dari aspek spiritual apalagi peningkatan sumber daya manusia.
Ketika Unesco melihat subak sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan, pemerintah lokal lebih sigap untuk mempromosikan dan menjual. Maka turis pun makin banyak berdatangan. Tidak ada batasan.
Begitulah akibat pemerintah yang mata duitan. Hanya peduli pendapatan, bukan pelestarian.
June 22, 2014
Pak Anton, saya memperoleh alamatnya dari Lutfi, teman Almas. Saya sedang membantu IIEE (Institv Indonesia utk Ekonomi Energi) mendokumentasikan pemasangan pembangkit listrik biomassa sekam padi pertama di Indonesia, di desa Munduk, Bali Utara. Kapasitasnya 20 kw, melayani 80an KK. Prosesnya sdh mulai tahun lalu. Hari selasa tgl 24 juni 2014 akan diresmikan oleh bupati dan dirjen ESDM. Menurut saya proses ini perlu dikawal agar dapat berkembang, direplikasi di tempat lain di Bali, dan sentra2 padi di pulau lain. Saya ingin minta pendapat pak Anton agar teman2 di Bali dapat ikut mendorong. Senin pagi tgl 23 saya dan orang IIEE menuju Munduk. No hp saya 085695415668. Pin BB 758E2E5C. Kalau berkenan harap kontak. Terimakasih.