Ada yang mengusikku ketika ikut diskusi terbatas sama mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika Selasa kemarin. Diskusi terbatas di Sanur itu membahas tentang bagaimana peran industri pariwisata dalam penanggulangan AIDS di Bali. Beberapa petinggi pelaku pariwisata di Bali hadir dalam diskusi sejak pukul 5 sore itu.
Hal yang mengusikku adalah ketika Ardika mengatakan sebaiknya media tidak usah membuat eufemisme, penghalusan, tentang pelacur dengan menyebut mereka sebagai pekerja seks komersial (PSK). “Sebut saja mereka sebagai pelacur. Dengan begitu kita tidak membenarkan mereka karena sudah berbuat salah,” kurang lebih begitu mantan menteri ini menyebut.
Aku berusaha membantahnya ketika ada kesempatan untuk ngomong menjelang diskusi berakhir. Namun, pak mantan menteri masih ngotot bahwa PSK bukanlah kata yang tepat untuk perempuan-perempuan itu. Dia masih keukeuh menyebut mereka sebagai pelacur atau setidaknya wanita tuna susila (WTS).
Maka, baiklah. Aku tulis saja di blog soal kenapa media, termasuk aku di dalamnya dan selalu kata itu yang kugunakan untuk menyebut mereka, menggunakan istilah PSK bukan pelacur.
Bagiku penyebutan PSK karena beberapa alasan.
Pertama karena menyebut mereka sebagai pelacur berarti telah menjustifikasi mereka sebagai orang yang melanggar moral. Kata melacur adalah sebuah penghakiman. Ada nilai negatif tertentu yang sudah kita lekatkan pada mereka ketika menyebut mereka sebagai pelacur. Menyebut mereka sebagai pelacur adalah stigmatisasi yang terus berulang..
Menyebut mereka sebagai pelacur bukanlah sesuatu yang empatik. Padahal seringkali PSK adalah orang yang menjadi korban. Aku belum pernah melakukan wawancara mendalam tentang prostitusi. Tapi sebatas yang pernah aku liput di lapangan, para PSK itu melakukan pekerjaan tersebut karena alasan ekonomi. Mereka tidak melacur. Mereka bekerja..
Kedua sebutan pelacur ataupun WTS juga bertendensi seksis, merendahkan perempuan. Padahal dalam banyak kasus pilihan mereka untuk bekerja di dunia prostitusi juga karena laki-laki. Terlalu klasik cerita bahwa mereka jadi PSK adalah mereka jadi korban laki-laki. Baik secara psikologis, misalnya dikhianati, atau karena ekonomi, suami tidak cukup bisa menghidupi.
Selain itu tak sedikit pula laki-laki yang jadi pekerja seks komersial, bukan hanya perempuan. Maka sebutan PSK lebih netral dibanding WTS.
Ketiga, menyebut mereka sebagai PSK adalah pengakuan bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah pekerja. Artinya mereka punya hak untuk berserikat, punya hak mendapat upah yang layak, dan punya hak untuk menentukan kehidupan mereka sebagai manusia.
Di beberapa negara, setauku malah sudah ada serikat pekerja seks komersial ini. Malah sudah ada PSK yang jadi anggota legislatif. Di Indonesia? Jangan harap. Mengakui keberadaan mereka pun sesuatu yang sangat susah. Terlalu banyak orang menggunakan moralitas ketika berbicara tentang prostitusi, termasuk PSK di dalamnya.
Marilah mulai dari kita. Setidaknya dengan mengakui bahwa mereka memang ada. Lalu pelan-pelan mengurangi standar moral yang kita gunakan untuk mendiskusikan tentang mereka. PSK berhak mendapat pengakuan yang setara sebagai manusia, bukan dengan terus melekatkan stigma pada mereka.
Leave a Reply