Mengulas Karya Terbaik di UU Project

1 , , Permalink 0

Mandi Debu. Foto Shinta Annisa (Palembang)

Maaf agak telat membahas karya-karya terbaik dalam lomba foto UU Project.

Mohon maklum saja. Ini proyek probono alias modal kebaikan hati yang juga dikerjakan sambil cari amunisi. Jadi, ketika ada pekerjaan lain yang membuat dapur mengepul, urusan kerja sosial pun dikesampingkan dulu.

Tapi, baiklah. Kini kami sudah membuat catatan tersebut. Tentang kenapa foto-foto tersebut kami pilih sebagai foto terbaik dari ratusan peserta.

Sekadar mengingat lagi pengumuman kami dua pekan lalu. Tema lomba adalah Wajah Kota Kita. Lomba terbuka untuk pelajar dan mahasiswa se-Indonesia. Selama lebih dari sebulan pembukaan pendaftaran, kami menerima ratusan foto karya para peserta. Peserta lomba tersebar dari berbagai kota, seperti Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Denpasar, Mataram, Makassar, Samarinda, dan lain-lain.

Pada umumnya, karya-karya peserta tersebut menarik. Bermodal telepon seluler, mereka bisa menangkap wajah kota masing-masing dari yang paling sederhana sampai paling kompleks. Misalnya pelanggaran lalu lintas, kemacetan, pengemis, pembangunan, taman kota, dan seterusnya.

Para peserta membuktikan bahwa ponsel bisa jadi alat untuk merekam wajah kota masing-masing sekaligus media untuk menyebarluaskannya. Ponsel adalah alat penting bagi pewarta warga.

Merah Putih Junir. Foto Asep Ardhie Nugroho (Ponorogo)

Perspektif
Tiga juri lomba ini adalah Beawiharta, fotografer Reuters; Catur Yudha Harian, koordinator Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali; dan saya sendiri sebagai pengelola jurnalisme warga. Kami ingin mengombinasikan perspektif dari fotografer profesional, aktivis lingkungan, dan pengelola media jurnalisme warga.

Dan, menurut saya, menarik melihat hasilnya perpaduan dari tiga perspektif tersebut. Saya sendiri cenderung memilih foto yang kuat pesannya dari sudut pandang jurnalisme warga. Teknis foto urusan belakangan. Di sisi lain, Mas Bea menekankan pada hal teknis seperti komposisi, angle, dan lain-lain. Adapun Mbak Catur cenderung memilih foto-foto yang memiliki pesan terkait dengan lingkungan.

Toh, dari sudut pandang berbeda tersebut, ternyata ada beberapa foto yang kami pilih bersama meskipun dengan nilai berbeda-beda. Foto-foto terpilih ini lalu kami nilai ulang untuk menyempitkan pilihan. Lalu, pilihan 10 foto terakhir itu kami nilai kembali agar mendapatkan tiga terbaik. Ternyata ya memang tak jauh beda dari pilihan-pilihan awal.

Setelah berdiskusi secara terpisah, antara Jakarta, Medan, dan Denpasar, kami pun sepakat memilih tiga foto terbaik yaitu terbaik I Mandi Debu karya Shinta Annisa (Palembang), terbaik II Merah Putih Junior karya Asep Adi Nugroho (Ponorogo), dan terbaik III Mobil Renang karya Luqman Arifin (Denpasar).

Ada beberapa alasan kenapa foto-foto tersebut kami pilih sebagai foto terbaik, setidaknya menurut saya.

Mobil Renang. Foto Luqman Arifin (Denpasar).

Berserakan
Pertama, kesesuaian dengan tema. Foto-foto pilihan tersebut mencerminkan pesan yang ingin kami gali dalam lomba ini, bagaimana wajah kota di mata warga. Wajah kota ini beragam dari tata kota, kemacetan, transportasi, dan lain-lain.

Karya Nisa, mahasiswa Universitas Sriwijaya, menceritakan bagaimana wajah Palembang yang sedang membangun. Ada kuli jalanan, debu berterbangan, juga bahan-bahan bangunan berserakan di pinggir jalan. Sementara itu para pemakai jalan lalu lalang di antara debu-debu dan bahan bangunan tersebut.

Karya Nisa menggambarkan wajah-wajah kota lainnya di Indonesia, bergerak dalam pembangunan namun di sisi lain kurang peduli pada keselamatan warga.

Secara teknis, foto ini juga menarik karena komposisi dan sudut pandangnya bagus. Dia memuat banyak objek dalam satu bingkai.

Kedua, kemampuan menyampaikan cerita. Luqman dari Denpasar, menurut saya, bisa menyampaikan bagaimana suasana banjir di salah satu jalan ketika hujan. Pada foto tersebut ada angkutan umum tanpa penumpang dan sepeda motor lalu lalang. Ini foto yang menurut saya bercerita banyak. Tentang drainase kota yang tidak bagus sehingga menyebabkan banjir. Ada pula pesan tak lakunya transportasi publik di kota ini.

Ketiga, tingkat kesulitan. Ini terlihat dari foto terbaik kedua karya Asep Adi Nugroho dari Ponorogo, Jawa Timur. Mahasiswa Universitas Airlangga ini menangkap anak-anak berangkat sekolah dalam bak mobil terbuka.

Secara teknis, foto ini tak terlalu bagus karena agak blur. Namun, ceritanya kuat. Bagaimana anak-anak sekolah tersebut harus berjuang demi pendidikan ketika transportasi publik tak terlalu memerhatikan aspek keselamatan.

Demikianlah kurang lebih hasil penilaian lomba foto UU Project.

Pada akhirnya, penilaian lomba foto bukanlah penilaian sepak bola yang dengan mudah dilakukan lewat angka-angka tak terbantahkan. Penilaian lomba foto tak bisa diobjektifkan, seperti Matematika. Pasti ada preferensi masing-masing juri. Pasti ada subjektivitas. Karena itu pula keputusan bisa diperdebatkan.

Selebihnya, silakan Anda menilai sendiri.

1 Comment
  • Nike
    December 29, 2013

    Yeay dari Palembang…. šŸ˜€

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *