Mengukur Efek Jokowi di Bali

0 , , Permalink 0

semeton-jokowi

Penetapan Jokowi sebagai calon presiden disambut gegap gempita.

Tak hanya Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menyambut positif dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 3,23 persen, media sosial pun menyambut penuh euforia. Joko Widodo, kader PDIP yang juga Gubernur DKI Jakarta, resmi ditetapkan PDIP sebagai calon presiden.

Kicauan pengguna media sosial, di Facebook maupun Twitter, yang merespon pencalonan Jokowi masih terus terjadi hingga hari ini. Beberapa pengguna Twitter dan Facebook segera mengganti avatarnya dengan logo #JKW4P yang secara resmi diluncurkan PDIP pekan lalu.

Di Bali, euforia pencalonan Jokowi juga terasa. Sebelum pengumuman resmi dari PDIP, di beberapa tempat di Denpasar bahkan sudah muncul spanduk-spanduk “Dukung Jokowi sebagai Presiden”. Spanduk ini umumnya berwarna merah, warna khas PDIP.

Di Facebook ada pula halaman Semeton Jokowi, yang berarti sahabat Jokowi. Cover photo page ini sangat jelas, ilustrasi Jokowi tersenyum memakai udeng atau ikat kepala khas Bali. Efek Jokowi terasa di mana-mana termasuk di Bali.

Pencalonan Jokowi sangat mungkin membuat PDIP di Bali bergairah kembali setelah kekalahannya pada Pemilu Gubernur Bali 2013 lalu.

Secara tradisional, Bali merupakan basis partai-partai nasionalis. Pada Pemilu 1955, partai dengan suara terbanyak adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) disusul Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai agama (Islam) tak laku di provinsi yang mayoritas penduduknya Hindu ini.

Pada zaman Orde Baru, Golkar merupakan partai paling berkuasa termasuk di Bali. Menurut catatan Ari Dwipayana, suara Golkar di Bali sangat kuat pada jaya Orde Baru: 85 persen (1977), 88 persen (1982), 88 persen (1987), dan 78 persen (1992). Selebihnya adalah perolehan suara untuk PDIP.

Perubahan iklim politik sejak 1998 mempengaruhi suara PDIP di Bali dengan sangat signifikan. Pada pemilu 1999, pemilu pertama setelah jatuhnya Orde Baru, suara PDIP dalam pemilihan anggota DPR mencapai 77,81 persen atau 7 suara. Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hanya 1 kursi.

Perolehan suara PDIP pada Pemilu 1999 tersebut menandai perubahan politik di Bali. Dari semula hanya mendapatkan kursi sisa-sisa, PDIP kemudian jadi partai penguasa. Mereka menguasai mayoritas suara di legislatif Bali. Apalagi ada semacam kebanggan bagi orang Bali karena Megawati Soekarnoputri, Ketua PDIP, memiliki darah Bali dari bapaknya, Soekarno yang memang lahir dari pasangan Jawa dan Bali.

Bali makin dikenal sebagai kandang banteng, lambang kebesaran PDIP.

Namun, suara PDIP di Bali justru terus turun pada dua pemilu berikutnya. Pada Pemilu 2004, PDIP mendapatkan 51,34 persen suara untuk anggota DPRD Bali. Lima tahun setelah itu, pada Pemilu 2009, mereka “hanya” mendapatkan 38,71 persen suara. Suara PDIP turun sebesar 12,63 persen.

Berkurangnya pamor PDIP di Bali makin terasa setelah calon mereka kalah di pemilihan Gubernur Bali 2013. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang mereka usung, Anak Agung Puspayoga & Dewa Sukrawan kalah tipis dari pasangan Mangku Pastika & Ketut Sudikerta yang diusung koalisi Golkar, Partai Demokrat, dan partai lain.

Meskipun sebagian besar bupati di Bali masih dari PDIP, tetap saja partai ini menghadapi situasi yang tak bisa dihindari, kian cair dan rasionalnya pemilih di Bali. Pemilih tak lagi terlalu menggunakan sentimen PDIP sebagai partai utama di Bali.

Jadi, apakah pencalonan Jokowi akan bisa mendongkrak perolehan suara PDIP di pulau ini? Tak hanya mengangkat pamor PDIP di tingkat nasional, pencalonan Jokowi sebagai calon presiden juga berpengaruh di Bali. Suara partai ini sangat mungkin naik kembali. Tapi, ini bukan pekerjaan mudah.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *