Mengawinkan Seni dan Gerakan untuk Perubahan

0 , , , Permalink 0
Foto petani garam Amed di depan mural karya Peanut Dog. Foto Luh De Suriyani.

Foto petani garam Amed di depan mural karya Peanut Dog. Foto Luh De Suriyani.

Ternyata, banyak juga gerakan-gerakan sosial di Bali.

Sabtu pekan lalu, mereka berkumpul di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar. Tidak hanya untuk menunjukkan apa saja yang mereka sudah lakukan tapi juga bersenang-senang.

Perayaannya bernama Mabesikan Festival. Mabesikan berasal dari bahasa Bali, besik yang berarti satu. Jadi, mabesikan kurang lebih berarti kesatuan tujuan. Ya, anggap saja begitulah. Hehehe..

Kenyataannya, selama sehari itu memang terlihat kebersamaan para aktivis di Bali untuk mendorong perubahan. Kali ini mereka berkolaborasi dengan para seniman baik itu seni lukis, musik, fotografi, ataupun video.

Festival sehari itu menjadi puncak perayaan program yang sudah berjalan selama setahun, Mabesikan Project. Proyek kolaborasi seni untuk perubahan sosial ini dilaksanakan Search for Common Ground, lembaga internasional di bidang rekonsiliasi atau resolusi konflik.

Di Bali, lembaga yang lebih sering disingkat sebagai SEARCH itu mendukung 15 seniman dan 8 organisasi non-pemerintah. mereka mengawinkan LSM dan seniman untuk satu topik tertentu.

Sloka Institute, misalnya, berkolaborasi dengan Arie si street artist dan Rudi Waisnawa si fotografer. Kami mengampanyekan perlunya perlindungan garam amed yang makin terdesak oleh pariwisata di pantai ujung timur Bali itu.

Btw, aku sendiri tidak terlibat dalam proyek Selamatkan Garam Amed. Hanya sekadar penggembira di kala kepengen saja. Bunda yang lebih banyak ikut serta dalam proyek itu, seperti memetakan, melaksanakan diskusi terfokus, plus mengelola tetek bengek printilan administrasi.

Menurut Pelaksana Pogram Mabesikan Project, Michelle Winowatan, proyek Selamatkan Garam Amed ini termasuk yang berhasil di antara proyek lain. Dia sih bilang begitu pada jumpa pers yang aku ikuti.

Salah satu indikasinya karena ada diskusi multipihak terkait penyelamatan garam yang sudah memiliki indikasi geografis tersebut.

Tapi, Mabesikan Project bukan untuk cari mana proyek yang paling berhasil atau gagal. Hal paling menarik bagiku adalah ternyata bisa juga komunitas lintas profesi dan isu berkolaborasi untuk perubahan di luar isu paling besar di Bali saat ini, Gerakan Bali Tolak Reklamasi.

Bagiku ini menyenangkan. Melihat, seniman perempuan Citra Sasmita yang berkolaborasi dengan LBH Apik berbicara tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemarin selama Mabesikan Festival, video-video karya Citra ini ditampilkan dengan sarat pesan perlindungan anak-anak dan perempuan.

Atau mengikuti perupa Budi Agung Kuswara alias Kabul yang berkolaborasi dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Mereka membuat karya-karya seni tidak hanya sebagai terapi untuk orang dengan skizofrenia (ODS) tapi juga kampanye dukungan bagi mereka.

Mabesikan Project tentu bukan kegiatan kolaborasi seni dan aksi perubahan yang pertama di Bali. Kami sudah melakukannya beberapa kali. Tapi, harus diakui ini memang program pertama yang mempertemukan begitu banyak aktivis dan seniman.

Maka, aku juga yakin Mabesikan Festival tidak akan menjadi pesta penutup kolaborasi tersebut. Setelah ini, semoga akan terus ada kolaborasi lebih intens lagi.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *