Ini hanya sebuah pemikiran dan tawaran.
Munculnya setelah Jumat malam lalu aku diundang diskusi untuk berbagi pengalaman tentang media komunitas dan jurnalisme warga oleh pegiat pers mahasiswa (persma).
Diskusinya dalam rangka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Jember. Ada sekitar 70 peserta pegiat persma dari berbagai kota, seperti Palembang, Yogyakarta, Denpasar, Makassar, Mataram, Palopo, dan tuan rumah Jember tentu saja.
Dalam diskusi sekitar dua jam itu, muncul pula pertanyaan: bagaimana posisi persma saat ini? Tulisan ini hanya mengulang apa yang sudah aku sampaikan di diskusi.
Tiap zaman punya sejarah masing-masing. Dan, menurutku, sejarah persma sekarang tentu saja berbeda dengan persma di zaman kebebasan pers belum ada di Indonesia, masa Orde Baru berkuasa. Ketika itu, persma bisa menjadi media alternatif di antara media arus utama.
Tapi zaman sudah berganti. Sekarang, apa sih yang tidak bisa ditulis media arus utama selengkap-lengkapnya, sekritis-kritisnya? Sesuatu yang dulu amat dibanggakan oleh persma.
Toh, meski zaman berubah, persma tetap memiliki posisi dan peran yang tidak tergantikan.
Pertama sebagai media belajar tentang jurnalisme. Ini hal mendasar. Media persma bisa menjadi media bagi anggotanya untuk belajar tentang jurnalisme dari sisi teori ataupun praktik. Tidak hanya soal kemampuan teknis tapi juga nilai-nilai dan wawasan.
Salah satu isu yang terkait dengan kualitas jurnalisme saat ini adalah karena kurangnya jurnalis bermutu. Sebagian besar jurnalis terlalu suntuk dengan rutinitas pekerjaan. Tidak sempat menulis secara mendalam.
Di sisi lain, kebutuhan akan jurnalis makin banyak seiring lahirnya media-media baru di era kebebasan media dan informasi di negeri ini. Tapi, belum banyak akademi atau tempat belajar jurnalisme secara serius.
Persma dengan keterbatasannya, menurutku bisa menjadi tempat belajar itu. Sekali lagi tak hanya persoalan teknis tapi juga hal-hal mendasar lain seperti nilai-nilai dan wawasan, sesuatu yang makin susah ditemukan di kalangan jurnalis-jurnalis baru saat ini.
Kedua sebagai media kritik, terutama di kampus masing-masing. Sebab, di antara hiruk pikuk berita-berita media arus utama saat ini, kampus seolah dilupakan. Perhatian media arus utama lebih banyak pada isu-isu politik, bukan isu pendidikan atau kebebasan akademik, hal yang juga tak kalah pentingnya untuk dituliskan.
Beberapa media persma yang aku baca sudah melakukan itu. Mereka setia sebagai anjing penjaga (watch dog) tentang tata kelola kampusnya. Bahkan ada yang sampai kemudian dibekukan oleh kampusnya seperti di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Fungsi sebagai “anjing penjaga” ini penting karena dunia akademik termasuk tata kelola kampus itu juga dunia yang amat tertutup. Persma, karena itu bisa menjadi media yang terus mengendus aroma-aroma tidak sedap di kampus masing-masing.
Sembari menjadi pengawas, media persma tetap bisa menjadi pembawa kabar tentang dunia akademiknya. Ya dosen. Ya mahasiswa. Dengan begitu persma akan tetap menjadi bagian dari kebebasan akademik di komunitasnya. Biar tidak tercerabut dari akarnya.
Ketiga adalah suara bagi yang tak bersuara. Ketika sudah punya kapasitas cukup dalam menulis, sudah saatnya para pegiat persma menulis suara-suara yang nyaris tak terdengar di media arus utama.
Anak-anak Persma Lentera di Salatiga bisa jadi contoh menarik bagaimana media persma membahas topik yang luput dari media arus utama, komunis di Salatiga. Mereka memperdalam apa yang pernah dibahas media arus utama agar relevan dengan pembacanya.
Media-media persma di Jember, setidaknya pada media yang aku baca, sudah melakukan itu juga. Menarik sekali membaca topik-topik yang belum pernah aku temukan di media arus utama, seperti komunitas Pandhulungan ataupun komunitas Kristen di Lumajang.
Masih banyak isu lain yang selama ini juga kurang muncul di media arus utama, terutama isu-isu lokal. Ketika media-media arus utama terlalu sibuk dengan para pejabat dan penjahat, media persma bisa menjadi ruang bagi mereka yang selama ini terlupakan.
June 26, 2016
Semoga mahasswa di indonesia, tidak hanya koar-koar saja. Tapi sebanding dengan prestasinya.