Pesta udah usai. Capek juga hari ini. Barusan keluarga besar rame-rame datang untuk merayakan Idul Fitri di rumah. Padahal mereka juga sedangg sibuk mempersiapkan ngaben dadong di Karangasem 10 Oktober nanti. Tapi ternyata sore ini semua pada bela-belain ke rumah kami.
Maka, rumah kecil kami pun riuh oleh ketawa-ketiwi. Tentu saja sambil menikmati camilan dan makanan khas Lebaran. Ada kue ringan dari Pasar Badung seperti krupuk dan astor. Tak lupa menu khas Lebaran: opor, eh, kare ayam dan rawon.
Inilah Lebaran ala kami, merayakannya bersama keluarga yang sangat warna-warni di Bali.
Tak hanya sama keluarga besar, tetangga kami pun begitu. Abis keluarga besar, gantian anak-anak tetangga datang ke rumah menghabiskan tiga toples jajanan kering itu. Yowis. Kapan lagi mereka bisa menikmati jajanan sepuasnya tanpa kuusir dari rumah. π Yang penting kami bisa merayakan Idul Fitri dengan cara berbeda. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua: makan bersama. Hehehe..
Idul Fitri, bagi kami (aku, Bunda, dan Bani) adalah waktu untuk berbagi. Maka, sejak kemarin petang kami disibukkan dengan urusan bagi-bagi ini. Pertama ngejot, tradisi berbagi seperti halnya tetangga kami yang merayakan Galungan dan Kuningan. Kalau pas Galungan dan Kuningan bahan yang dibagi adalah buah, maka kami ngejot nasi saja. Tentu saja lengkap dengan kare ayam, krupuk, dan camilan. Kanggoang tak ada buah.
Ngejot ini kami bagi ke semua tetangga. Dan, ternyata bukan hanya kami yang ngejot. Kemarin petang, Bu Dewi pun bagi-bagi nasi itu. Terus Bu Risma dua hari yang lalu sudah melakukan tradisi ini.
Usai ngejot, ketika makin sore, waktunya bayar zakat. Bahasa sederhana zakat adalah membagi milikmu untuk dibagi pada mereka yang kurang mampu. Ini wajib dilakukan saat Ramadhan, sebelum Lebaran.
Besarnya 2,5 persen dari pendapatan per bulan. Ya, gampang begitulah. Kalau itung-itungan lebih ribet, mungkin Pak Ustadz yang lebih tepat. Soale kalo aku beragama sekadar berteman sama Tuhan saja, tidak terlalu serius. Hehe..
Orang yang bayar zakat ada yang lewat panitia. Tapi tidak masalah juga kalau diberikan sendiri. Kami pilih cara terakhir.
Kami sepakat memberikannya langsung ke yang membutuhkan. Itung-itung membangun hubungan sosial baru. Pilihannya ke rumah anak-anak tukang suun di Banjar Penyaitan Desa Pemecutan, setelah kami tidak menemukannya di pasar.
Bagi orang lain mungkin agak tendensius bernuansa SARA, bukan Sarah Azhari, tapi biarlah. Kami memang pilih yang non-muslim untuk memberikan zakat. Pertama karena kami ingin melakukan sesuatu (yang semoga baik) tanpa dibatasi sekat agama . Kedua biar mereka juga kenal wajah Islam yang lain, yang toleran dan mau berbagi. Kasihan, masak Islam dikenal hanya karena para pengebom dan pembuat onar berjubah itu.
Memang sih kayak Sinterklas, hanya bagi-bagi setelah itu pergi. Ah, tapi mending itulah daripada hanya bisa sinis sama orang lain yang berbuat baik. Hehe..
Toh, Wayan Cenik, si anak tukang suun itu terlihat sangat senang dengan kedatangan kami. Dia malah cium-cium Bani. Kapan-kapan dah kami main ke sana lagi.
Oya, pas main di sana itu pula ada cerita menarik yang baru kami tahu. Ternyata anak-anak itu juga suka βmenyerbuβ masjid pas Jumatan atau pembagian zakat. Mereka cari bagian ke sana.
Aku pikir selama ini gepeng di masjid-masjid itu dari luar Bali. Eh, ternyata kata Wayan Cenik dan ibunya mereka memang nggepeng di sana juga. Malah, kata Bunda yang abis wawancara Dinas Tramtib, sekitar 90 persen gepeng di Bali ya memang produk lokal. Hmm, ini fakta yang baru kutahu.
Lalu balik ke lebaran hari ini. Tadi pagi sholat Ied di Renon. Agak jauh dari rumah sih. Tapi sengaja ke sana biar dapat foto-foto bagus dengan latar belakang Bajra Sandhi. Dan, kami pun dapat foto-foto itu. Lumayan buat bernarsis ria di blog.
Khotibnya bagus pada bagian soal perlunya menjadikan Idul Fitri sebagai momentum membangun solidaritas sosial. βSungguh tidak mulia membiarkan orang lain kelaparan sementara kita kekenyangan,β katanya. I like this emphatic quote very much. Eh, tapi abis itu nyaplir lagi soal Syariat Islam. Badah, buin kemu melaib…
Yaudahlah. Sekarang sudah 10.10 malam. Waktunya tidur. Istirahat. Besok pagi mau mudik ke kampuang nan jauh di mato, Lamongan. Seminggu menghirup candu bernama keluarga.
Selamat Idul Fitri untuk yang merayakan. Minal Aidin wal Faizin. Mohon maaf lahir dan batin, terutama yang pernah tak rasani (opo yo boso Indonesiane?) di blog. Semoga hari yang suci ini terus menumbuhkan kesadaran kita untuk berbagi..
Leave a Reply