Hati langsung nyes, adem, melihat dua perempuan itu berboncengan.
Di depan, si ibu berjilbab memakai helm mengendarai sepeda motor. Duduk di boncengan, ibu lain berpakaian adat Bali sambil membawa sarana upacara.
Jika hanya melihat pakaiannya, maka mudah ditebak: ibu yang di depan seorang muslim, di belakangnya ibu Hindu Bali sedang merayakan Galungan. Aku hanya menduga-duga tetapi semoga saja benar adanya.
Keduanya lewat di Jalan Gatot Subroto, Denpasar tengah ketika kami hendak menuju rumah orangtua yang hari ini merayakan Galungan. Bagi sebagian orang, dua perempuan berboncengan itu mungkin hal biasa saja. Namun, bagiku amat menyenangkan sekaligus mengharukan.
Kejadian seperti dua ibu berboncengan itu hal biasa di Bali. Dua orang berbeda agama berjalan berdampingan. Tidak hanya di jalan raya tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Ibu-ibu berjilbab membeli daging dari penjual yang menghaturkan banten di atas dagangannya. Bapak-bapak berpakaian adat Bali berbelanja di warung muslim.
Di gang kami, sudah menjadi tradisi untuk saling mengantarkan jotan, makanan dan kue, kepada tetangga berbeda agama ketika merayakan hari raya. Bagiku, itu tidak hanya soal bagaimana kami berbagi makanan tetapi upaya kami untuk terus merawat rasa guyub sebagai tetangga dengan latar belakang berbeda-beda.
Narasi toleransi semacam itu melimpah ruah. Tidak hanya di Bali tetapi juga di daerah-daerah multikultur di negara ini.
Jauh di Sulawesi Tengah sana, aku pernah bertemu para transmigran Bali. Salah satunya dari Jimbaran, Badung. Sudah sekitar tiga generasi mereka di pedalaman Sulawesi tersebut.
Tinggal di daerah multikultur, mereka pun terbiasa bertenggang rasa dan bahkan berkeluarga dengan orang berbeda-beda etnis dan agama. Orang Muslim dan Hindu bertetangga dengan baik. Saling memberi selamat saat hari raya, apapun agamanya.
Di Indonesia bagian lain, Bengkalis, Riau sana, aku melihat sendiri orang-orang Tionghoa, Melayu, Jawa, dan etnis lainnya hidup guyub bertetangga. Saling menghormati apapun etnis dan agamanya.
Bagi orang-orang biasa, perbedaan selalu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak perlu teori muluk-muluk. Tidak perlu narasi berbusa-busa. Harmoni ada di darah mereka.
Kisah-kisah tentang keberagaman semacam itu perlu lebih banyak dipraktikkan, diperlihatkan, dan disebarluaskan jika memang mau mengampanyekan perlunya hidup penuh toleransi.
Bukan sebaliknya, terus mereproduksi dan menyebarluaskan narasi intoleransi plus tetek bengek labelisasi, yang justru akan membuat orang saling curiga. Ini, ironisnya, sering sekali dilakukan oleh mereka yang konon mengampanyekan toleransi.
Bagiku sih, menyebarluaskan berita-berita intoleransi tidak akan menghasilkan apa-apa selain hanya kemarahan. Apalagi jika kemudian terjebak semata pada sikap saling menghakimi, bukan keterbukaan untuk berdialog.
Kabar-kabar buruk akan membawa pikiran buruk. Kabar baik akan membawa pencerahan.
Selamat Galungan buat teman-teman yang merayakan. Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang saling memanusiakan tanpa sekat-sekat perbedaan..
Leave a Reply