“Mbok ya Bani mulai diajari mengaji dan sholat. Biar ngerti agama,” kata emak yang lagi main ke Bali menengok dua cucunya, Bani dan Satori.
Kami ngobrol di ruang tamu sambil nonton berita pagi. Emak duduk di sofa, aku lesehan di lantai. Kesempatan seperti ini termasuk jarang sejak aku tinggal di Bali mulai 15 tahun lalu sementara dia masih tinggal di kampung halaman kami, Lamongan.
Nyaris dalam tiap kali obrolan, emak terus rajin memberi nasehat. Salah satu topik yang terus ada adalah soal agama.
Seperti biasa, aku tak terlalu antusias menanggapi kalau sudah ngomong tentang topik ini. Emak justru terlihat lebih geregetan gara-gara anaknya yang satu ini makin keliatan mursal. Tak mau nurut nasehat orang tuanya. Hihihi..
Tema tentang agama nyaris selalu menjadi bahan nasehatnya tiap kali kami bertemu. Emak mungkin khawatir. Sepertinya cuma aku yang tak terlalu religius di antara delapan anaknya. Sebagai orangtua, wajar dia memberikan nasehat. Aku pun banyak belajar filosofi hidup dari emak, panutan utama sejak kecil.
Tapi, sekali-kali mendebat kan boleh juga. Termasuk urusan agama.
Dalam pandangan emak dan mungkin sebagian besar orang lain, kemampuan kita beragama diukur dari kemampuan melakukan ritual, seperti sholat, mengaji, dan semacamnya. Maka, sejak kecil kami semua dididik dengan ritual-ritual semacam itu.
Namun, aku kemudian melihat, banyak orang yang menjadikan ritual-ritual tersebut sebagai patokan utama beragama. Seolah-olah beragama hanya diukur dari serapa rajin kita sholat, seberapa sering kita mengaji atau khatam Al-Quran, sudah berapa kali naik haji, dan ritual-ritual lain.
Menurutku sih ritual memang penting. Tapi, mereka bukan hal terpenting. Hal yang lebih penting adalah bagaimana membawa nilai-nilai kebaikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari.
Acak Adut
Maka, bagiku, pintar agama tak hanya dilihat karena mereka rajin sholat, pintar mengaji, atau berkali-kali naik haji. Bahkan, mereka yang rajin melakukan semua ritual juga belum tentu dia orang baik.
Ada contoh. Beberapa teman yang kerjanya beribadah ritual melulu juga malah kehidupannya acak adut. Ngaji melulu tapi juga minta orang lain terus. Di masjid terus tapi malah lupa urus anak. Dan, seterusnya.
Intinya, ketaatan melakukan ritual itu tak diimbangi kebaikan sosial. Tak seimbang.
Karena itulah, aku tak terlalu kaku mengajari Bani soal ritual-ritual beragama. Selain karena dia memang masih kecil juga karena, menurutku, lebih penting baginya untuk belajar nilai-nilai universal. Kami lebih kaku ngajari dia soal cara berterima kasih, meminta maaf, tidak sombong, dan seterusnya. Nilai-nilai kebaikan universal lebih penting daripada kemampuan ritual.
Maka, begitulah obrolan santai dengan emak pagi itu. Kami ngobrol sambil menonton berita pagi.
Ketika masih ngobrol, di televisi muncul berita menyesakkan, ada korupsi pengadaan Al-Quran di Departemen Agama.
Nah, kan?
Ilustrasi disalin dari sini.
Leave a Reply