Ketika Raksasa Batu Menghentikan Waktu

5 , , Permalink 0

Batu-batu di tengah itu menggugahku. Dia sesuatu yang tak biasa.

Dengan ukuran sekira tubuh gajah dewasa atau sebagian bahkan tiga kali lipatnya, batu-batu itu terlihat seperti raksasa. Strukturnya bulat. Dari jauh sih terlihat mulus berwana hitam agak kusam. Hal yang menarik bagiku karena batu-batu itu di tengah sawah di mana petani biasa menanam padi sehari-hari.

Berada di lokasi sawah yang berundak, seperti terasering di Tabanan atau Gianyar, Bali, maka pemandangan itu amat menarik hati.

Lokasi ini di sisi utara Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi. Dari ketinggian ini akan terlihat kota Rantepao yang mirip sepotong bakso di tengah mangkuk. Pegunungan yang mengelilingi kota inilah mangkuk tersebut. Dan, sawah-sawah dengan bebatuan raksasa di tengahnya ini ibarat lukisan di pinggir mangkuk tersebut.

Hal yang masih tak aku pahami, bagaimana batu-batu itu bisa berada di tengah sawah basah dengan padi dan genangan air di dalamnya tersebut. Kalau batu itu berada di pegunungan berapi mungkin masuk akal. Tapi, ini di tengah sawah.

Milyaran
Pemandangan menarik ini mulai aku temui setelah perjalanan sekitar 1 jam dari Rantepao 25 November lalu. Dia memberikan kejutan karena di kepalaku hanya ada rumah-rumah adat bernama Tongkonan ketika membayangkan Toraja. Ternyata, ada kejutan lain juga. Bebatuan raksasa itu.

Tak jelas dari mana bebatuan raksasa itu berasal. Warga sekitar lokasi tersebut juga tak tahu. Namun, menurutku, sangat mungkin batu-batu itu sisa letusan gunung berapi di sekitar sana.

Daerah ini memang memiliki beberapa gunung. Salah satunya Gunung Sesean di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut (dpl). Namun, menurut warga, gunung ini tak pernah menunjukkan tanda-tanda pernah meletus. Tak satu pun warga yang tahu sama sekali. Aku cari-cari di internet juga tak menemukan informasi bahwa gunung ini masih aktif atau masuk kategori gunung berapi.

Jadi, entahlah. Tak ada yang tahu bagaimana bebatuan raksasa itu bisa berada di sana. Dia ada dan jadi bagian dari keindahan Tana Toraja. Tanpa cukup informasi rasional, warga lalu membungkusnya dengan mitos. Bahwa batu-batu itu jatuh begitu saja dari langit, seperti juga orang Toraja menganggap begitulah kehadiran leluhur mereka dulu kala.

Bebatuan raksasa ini tak hanya di sawah. Dia juga ada di jejeran bukit-bukit yang sambung menyambung membentuk lekukan mangkuk itu tadi. Ada yang terpisah sendiri dengan tinggi sekitar 15 meter. Ada pula yang menempel pada deretan bebukitan tersebut.

Lalu, pada batu-batu raksasa itu pula orang Toraja mengembalikan leluhur mereka. Lewat tradisi upacara kematian yang bisa menghabiskan ratusan juta atau bahkan milyaran, mereka mengistirahatkan jasad setiap orang yang sudah meninggal di tempat bernama liang ini.

Megalit
Orang Toraja memilih cara unik merayakan kematian. Mereka membuat ceruk sekitar 2 x 3 meter di dalam batu-batu raksasa itu. Jadilah semacam gua kecil. Lalu, jasad mereka yang sudah meninggal disemayamkan di  kuburan ini. Namun, penguburan ini tak harus melalui upacara besar yang menjadi salah satu daya tarik Tana Toraja.

Di Desa Tonga Riu, Kecamatan Sesean, misalnya ada batu raksasa berukuran sekitar 15 x 30 meter di mana terdapat puluhan liang ini. Biasanya, satu batu raksasa ini dipakai oleh satu keluarga besar. Jadi, tak sembarangan orang boleh menggunakannya.

Biaya pembuatan satu liang ini, menurut Eveready Lolo, teman yang mengantarkanku selama di Toraja, sekitar Rp 50 juta. Mahal!

Biaya ini sih, menurutku, masih tak seberapa dibandingkan biaya pembuatan kuburan batu di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penduduk di pulau antara Sumbawa (NTB) dan Flores (NTT) ini juga punya cara unik untuk menyemayamkan orang yang sudah meninggal, dikubur dalam batu.

Cuma bentuknya berbeda dengan Toraja. Jika di Toraja berupa batu alami tanpa memindah lokasinya, maka orang Sumba memotong batu tersebut dari bukit lalu membawanya ke desa di mana orang meninggal akan dikuburkan.

Ukuran batu megalit orang Sumba ini bisa sampai sekitar 2 x meter tapi berupa lempengan. Karena ambil dari gunung, maka mereka perlu waktu berbulan-bulan untuk memotong dan memindahkannya. Tak heran jika mereka pun menghabiskan puluhan atau bahkan ratusan juta untuk satu batu megalit ini.

Mahal sih memang. Tapi, begitulah cara mereka menghormati orang-orang terkasih yang telah pergi. Mengorbankan hal terbaik yang mereka miliki.

Batu-batu raksasa di Toraja ini, menurutku, bisa jadi salah satu bahan untuk mewakili Toraja dalam kampanye wisata. Selama ini kan yang ada cuma rumah tongkonan. Bebatuan raksasa tentu bisa jadi tambahan pesona Toraja yang belum banyak diperkenalkan sebelumnya.

Keterangan: Pada 2 April 2012, aku mendaftarkan blog ini untuk ikut Lomba Blog Wisata Sulsel. Ya, iseng-iseng berhadiah. Toh sudah ada tulisan jadinya. Tak ada salahnya.

5 Comments
  • imadewira
    November 8, 2011

    ini postingannya gimana om? kok ada paragraf yang sama tertulis beberapa kali begitu 🙂

  • a!
    December 16, 2011

    makasih koreksinya, om. 🙂

  • daengrusle
    April 9, 2012

    senang membacanya mas.
    apalagi mengambil fokus yang tak biasa, menatap batu raksasa yang kadang hanya sekelebat dikagumi orang tapi tak ditelisik lebih jauh.

    btw, di Bali ada komunitas bugis Loloan yang sudah beranak-pinak selama 3 generasi, menarik mengetahuinya.

  • Baba Studio
    October 17, 2014

    Undangan Menjadi Peserta Lomba Review Website berhadiah 30 Juta.
    Selamat Siang,
    setelah kami memperhatikan kualitas tulisan di Blog ini.
    Kami akan senang sekali, jika Blog ini berkenan mengikuti Lomba review
    Websitedari babastudio.

    Untuk Lebih jelas dan detail mohon kunjungi http://www.babastudio.com/review2014

    Salam
    Baba Studio

  • Redocrominon
    December 8, 2016

    Tulisan yang menarik. Salam kenal dari SSM Studio.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *