Keterangan foto itu tidak terlalu masuk akal.
Warning. Jangan simpan HP di bawah jok sepeda motor. Pada saat berdering langsung meledak. Ini terjadi di Purwosari, Jawa Timur. Karena di sana ada accu dan tangki bensin.
Foto dan keterangannya itu masuk di grup WhatsApp keluarga besar kami hampir tengah malam. Selain ajang silaturahmi, grup keluarga ini memang sering jadi tempat diskusi beragam topik. Kali ini topiknya tentang foto kecelakaan itu.
Foto yang dikirim itu terlihat mengerikan. Empat orang tergeletak di tengah jalan berpaving. Sepertinya di pemukiman, bukan jalan raya besar. Ada sepeda motor hancur.
Pada pagi hari, anggota grup lainnya mengirim koreksi. Kejadian di foto itu bukan karena HP meledak tapi kecelakaan di desa tetangganya. Dia bahkan menyebut lokasi kejadiannya, di Bojonegoro, Jawa Timur.
Tempat kejadian di depan gudang garam Kepohbaru, Bojonegoro. Menghindari jalan rusak dan sama-sama ngebut. Kecelakaan pun terjadi.
Jadi, benarlah adanya. Informasi pertama bukanlah informasi benar. Fotonya benar, tapi keterangannya salah. Itu bukan karena HP meledak tapi kecelakaan sepeda motor.
Namun, pengiriman foto di keluarga itu telanjur terjadi.
Syifa, ponakanku bilang lewat grup kalau dia mendapatkan informasi serupa di grup-grup WhatsApp lain. Padahal, informasinya salah. Toh, penyebarluasan informasi terjadi begitu saja tanpa ada cek dan ricek. Tanpa ada konfirmasi.
Baiklah. Anggap saja itu wajar karena dilakukan warga biasa, bukan media arus utama atau jurnalis profesional.
Namun, cerita serupa juga terjadi oleh media arus utama yang bahkan sudah mendapatkan pengakuan dari Dewan Pers, Kompas.com. Beritanya soal kasus penolakan Ketua OSIS di SMA hanya karena ketuanya berbeda agama.
Dari semalam hingga pagi ini, berita itu sudah disebar entah ke berapa grup. Di Facebook juga berseliweran dengan komentar-komentar kritis, dari mereka yang mendapat informasi entah dari tangan ke berapa.
Berita itu mengandalkan satu narasumber. Tidak jelas lokasi kejadiannya. Tidak jelas pelaku dan korbannya. Apa agama yang menolak, agama apa yang ditolak. Si narasumber juga tidak mengalami atau melihat langsung kasus penolakan itu.
Pagi ini, berita itu diganti judulnya. Ada tambahan keterangan di bawahnya untuk melihat konteks lebih luas.
Tapi, begitulah kenyataannya. Bahkan media besar yang sudah mendapatkan pengakuan dari Dewan Pers pun menyebarluaskan informasi yang belum jelas asal muasalnya. Yang penting tulis dan sebar.
Dua kejadian itu menjadi pelajaran bahwa musuh kebebasan media saat ini tidaklah lagi hanya otoritas dengan kekuatan represi, seperti pembatasan media di Papua Barat, tapi juga para pembaca yang menerima informasi serupa dogma, ditelan mentah-mentah begitu saja.
Di kalangan pembaca, sangat langka mereka yang mau menelaah baik-baik informasi yang mereka dapatkan. Dari mana sumber utamanya. Apakah bisa dipercaya atau tidak. Apakah masuk akal atau tidak.
Atas nama kecepatan, mereka tidak menyediakan waktu untuk cek dan ricek. Biar kelihatan paling cepat mendapatkan berita, mereka langsung meneruskan informasi itu ke mana-mana lewat berbagai media.
Media yang seharusnya mampu memproduksi informasi dengan lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan pun banyak yang serupa, terutama di media daring. Mereka larut juga dalam jebakan mengejar kunjungan sebanyak-banyaknya.
Tepat di Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day), mari tak hanya terus menuntut kebebasan media tapi juga refleksi bagaimana kita bisa menggunakan kebebasan itu.
Selamat merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia. Mari rayakan kebebasan ini dengan tanggung jawab. Tak hanya menyebar informasi tak jelas tapi juga memproduksi informasi. Sebab, kita adalah informasi itu sendiri.
No neuus without u!
May 6, 2017
Hi Mas Anton,
Weh begitulah media sekarng banyak kejar setoran..terlepas dari kebenaran berita tsb. sangat berbahaya memang meletakkan HP di bawah jok motor..sangat berbahaya..
Salam dari Rumah Kedua
June 23, 2017
Rasanya kayak jadi bebas yang kebablasan.
Kayaknya ga cuma penulisnya yang harus diajarkan etika menulis yang baik, apalagi tulisan itu bakal kesebar di khalayak umum, walau cuma ranah media sosial. Tapi pembaca juga diajarkan cara menelaah berita yang benar. Ga asal semua tulisan bisa dipercaya, bahkan dari sumber yang terpercaya sekalipun :p
Hmm… adi gae keweh asane nah? :p