Ironi Mahalnya Biaya Demokrasi

8 , , Permalink 0

Wajah para calon anggota legislatif (caleg) itu terasa sangat memuakkan bagiku. Selama ini wajah mereka di baliho dan spanduk yang kutemui sudah cukup memuakkan. Sebab mereka malah membuat kotor wajah kota.

Tapi ini jauh lebih parah. Wajah para caleg yang kutemui sepanjang jalan antara Polewali dan Mamasa, Sulawesi Barat itu sampai membuatku harus menahan marah. Geram.

Betapa tidak. Ketika aku dan dua teman, Peni dan Ana, harus pontang-panting menempuh jalan yang rusak parah itu, wajah mereka malah tersenyum tidak jelas begitu. Mereka semua memasang wajah ramah, tersenyum manis, dengan kalimat yang kurang lebih sama: pilih saya sebagai wakil Anda.

Senyum mereka itu jadi terasa seperti ironi ketika kami temui setelah kami melewati jalan antar-kabupaten yang rusak parah itu. Karena jalan antar-kabupaten, artinya itu jalan milik provinsi, maka para caleg itu juga pasti pernah melewati jalan tersebut. Toh, tetap saja jalan ini rusak parah.

Jalan sepanjang sekitar 90 km itu menghubungkan dua kabupaten di Sulbar. Dari total panjang itu, tak lebih dari 5 km yang diaspal. Sisanya adalah jalan penuh lubang, becek, nain turun, melingkari bukit dan jurang, dan berkelok-kelok. Bukan hanya harus menghindari jalan rusak, tiap orang yang lewat juga seperti harus menghindari kematian: jurang menganga lebar serta batu dan tanah longsor hampir sepanjang perjalanan.

Melihat wajah sok ramah para caleg di antara hancurnya jalan antar-kabupaten itu, aku kemudian berpikir tentang ironi demokrasi di negeri ini. Biaya demokrasi, atau ya katakanlah Pemilu, itu sangat mahal. Tidakkah lebih baik dipakai saja untuk membangun jalan yang rusak parah itu.

Aku cek di internet, biaya Pemilu 2009 ini mencapai sekitar Rp 21 triliun. Yap, Rp 21 triliun, dengan angka 0 sampai 12. Itu baru untuk Pemilu tingkat nasional, belum termasuk Pemilu gubernur dan bupati/walikota.

Contoh ekstrim lainnya, aku pernah baca di Kompas kalau biaya untuk Pilgub Jawa Timur mencapai sampai seperempat pendapatan asli daerah. Gila! Masa untuk milih orang-orang yang sebenarnya tidak jelas kerjanya saja sampai menghabiskan uang segitu banyak.

Uang itu baru anggaran dari pemerintah. Belum lagi uang dari masing-masing caleg yang, kata salah satu teman yang punya keluarga ikut jadi caleg, dananya minimal Rp 100 juta.

Pulang dari Sulawesi, dalam perjalanan ke rumah, aku tanya ke sopir taksi tentang apa sih yang menurut mereka berubah setelah adanya Pemilu. “Tidak ada. Nasib kami tetap sama,” katanya.

Cobalah bertanya lebih banyak pada orang-orang kecil. Pemilu, demokrasi, dan tetek bengek itu terlalu jauh untuk bisa mengubah nasib mereka.

Maka, tidakkah lebih baik kalau anggaran itu dipakaia saja untuk memperbaiki jalan. Para caleg itu, daripada sibuk pasang wajah sepanjang jalan yang rusak parah, apa tidak lebih baik membangun jalan itu. Kalau jalan sudah baik, maka aku yakin ekonomi akan lancar. Daripada sibuk ngomong demokrasi, orang kecil lebih senang ngomong soal perut. Aku juga begitu..

Kalau uang para caleg dikumpulkan, rasanya kok akan lebih mudah membangun jalan. Aku cek di internet, pembangunan jalan baru “hanya” menghabiskan biaya Rp 2 miliar-Rp 2,5 miliar per km per tahun. Lha berarti uang untuk Pemilu tahun ini bisa dipakai untuk membangun lebih dari 1000 km jalan raya. Itu kan kurang lebih sama dengan total panjang jalan trans-Sulawesi.

Jadi bagaimana kalau Pemilu ditunda saja. Biayanya dipakai untuk membangun jalan raya. Sepertinya itu lebih berguna..

8 Comments
  • didut
    February 13, 2009

    lah kitapun jadi susah hrs gimana lagi sbg masyarakat umum buat mengubah ini semua karena pilihan pemimpin yang sangat terbatas *keluh*

  • PanDe Baik
    February 14, 2009

    makanya, pilih dan dukung saya.
    CALEG GOBLOG !
    CAlon LEGislatif yang suka GOsip dan ngeBLOG.
    Huahauahauahahahaha…

  • imsuryawan
    February 15, 2009

    mending dipake bikin sekolah ja bli… biar rakyatnya pinter… kalo rakyatnya pinter, kan ga mungkin mau milih caleg yang gobl*k! hehehe…

    just a random thought…

  • Mo
    February 16, 2009

    idem ton, sebel banget nih.. kenapa mereka memperbanyak baliho ketimbang jalan aspal?

    Sama sebelnya ketika di Bahrain ini kita WNI tak pernah di “urusi” atau di perhatikan seperti pemerintah negara lain memperhatikan warganya.

    Eh, sekalinya mengundang kita, ternyata hanya undangan sosialisasi UU atau RUU, pendaftaran pemilu, sosialisasi pemilu, trus yang terakhir itu sunset policy, apa kaden, intinya wni suruh bayar sekian rupiah untuk hal-hal yang menurutku gak berguna… Menyebalkan..!

  • HeLL-dA
    February 16, 2009

    Mereka bukannya mempercantik kota sendiri ya, Bli.. Hufh, malah jadi kotor.
    Pohon-pohon malah dipakein aksesoris yang berasal dari pohon itu juga.

  • Oming
    February 16, 2009

    Duh ming sejak adanya baliho caleg bertebaran jadi antipati banget ma yang namanya caleg.
    Modal tampang, sing ada apa de..
    Padahal yang 5tahun lalu gak kayak gini, ya bli?
    Kalo bli pernah lewat pertigaan menuju jalan suli, kan ada gedung ex-nya BI tuh, nah di pojokan, plank dari pemerintah yang da tulisan “Jaga kebersihan bla bla..” kalo gak salah, teronggok dibawah digantiin ma foto caleg.
    Destruktif banget kan?
    Yang bikin tambah gemez, sepertinya parpol2 tu juga aji mumpung banget ma bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ni, dengan menunjukkan mereka mampu menyumbang “lebih” untuk mengambil hati para korbannya.
    Coba kalo udah kepilih, boro-boro bantu..
    Duh kok jadi ikutan emosi gini seehh…
    Hehehehe…

  • wira
    February 19, 2009

    SETUJU…..

    tapi,

    saya sendiri juga hanya bisa ngomong dan mengeluh di belakang layar. Tanpa bisa berbuat apa-apa..

    *golput aja ah

  • toro
    April 10, 2009

    lebih baik jangan golput. kita kan udah bayar trilyunan buat hajatan ini. demokrasi yang ternyata mahal. perkara ada caleg yang wajahnya bikin senewen ya biarkan saja. toh mereka sendiri yang rugi.
    pilih yang tidak terlalu banyak publikasi tapi sudah terbukti berbakti buat rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *