Oktober ini sepertinya jadi bulan baik bagiku.
Minggu lalu, untuk pertama kalinya dua tulisanku dimuat koran Jakarta Globe. Tulisan tersebut, pertama tentang perusahaan perhiasaan di Bali UC Silver, dan kedua tentang paragliding. Keduanya dimuat pada edisi yang sama, 5 Oktober 2013.
Lalu, kemarin ada kejutan lain. Dua tulisanku yang lain juga dimuat di majalah Forbes Indonesia edisi Oktober 2013. Meskipun sudah ada info sebelumnya bahwa tulisanku akan dimuat di edisi Oktober, tetap saja ini kejutan.
Tulisan di majalah franchise untuk orang-orang kaya tersebut tentang gitar keren made in Bali, BlueBerry. Satu tulisan lagi soal paragliding.
Yap. Tulisan tentang paragliding itu memang dimuat di dua media berbahasa Inggris tersebut. Dan, itulah menariknya media-media ini. Mereka tidak mengikat eksklusif karya-karya tersebut.
Jadi, tulisan yang dikirim ke Jakarta Globe boleh dikirim pula ke Forbes Indonesia. Dan sebaliknya, tulisan yang sudah dikirim ke Forbes Indonesia pun boleh dikirimkan ke media lain yang tak serupa.
Ini semua terbuka. Jadi, aku ngasih tau ke editor dua media tersebut bahwa tulisanku juga aku kirim ke media lain.
Dengan Forbes Indonesia, misalnya, sudah ada kesepakatan itu. Secara lisan ada kesepakatan bahwa aku boleh kirim tulisan yang sama ke media lain selama bukan kompetitor. Ya, ini memang etikanya, aku gak boleh kirim tulisan yang sama ke media serupa, misal koran harian ke koran harian atau majalah bisnis ke majalah bisnis.
Hubungan ketenagakerjaanku dengan dua media itu agak berbeda. Dengan Jakarta Globe total freelance. Sama halnya dengan The Jakarta Post edisi Bali Daily selama ini. Kalau dengan Forbes Indonesia agak resmi karena ada tanda tangan kontrak tertulis sebagai kontributor. Jadi merasa lebih punya ikatan formal saja sih.
Setahuku, sistem kerja dengan media-media di Eropa atau Amerika Serikat memang serupa itu. Jurnalis tak harus jadi wartawan resmi mereka untuk bisa menulis di media tersebut. Jurnalis teks ataupun foto, malah punya agen sendiri sehingga mereka bisa menawarkan naskah atau fotonya ke banyak media.
Kalau di Indonesia? Secara umum sih tidak bisa jika satu naskah atau foto dikirim ke beberapa media non-kompetitor. Padahal honornya kalah jauh dibanding media-media berbahasa Inggris tersebut.
Tak cuma soal honor yang masih kecil, penghargaan untuk jurnalis lepas di negeri ini juga masih kecil. Sangat biasa bagiku dianggap sebelah mata oleh narasumber hanya karena mereka tidak tahu cara kerja jurnalis lepas. Terlalu sering aku merasa dicurigai mau minta amplop ketika akan liputan gara-gara narasumber tidak tahu tempat media kami akan menulis.
Meskipun sudah dijelaskan tentang cara kerja jurnalis lepas, misalnya ada liputan awal, kirim usulan, begitu disetujui baru liputan lagi, cek dan ricek, tetap aja tak semua narasumber paham. Cara paling gampang memang dengan bahasa sederhana. Jika wartawan tetap ibarat kerja di pom bensin, maka wartawan lepas kerjanya ngecer bensin.
Maka, hiduplah para pengecer berita! :-))
November 7, 2013
kalo majalah Reader’s Digest punya kebijakan naskah yang udah dikirim ke editornya jadi milik hak cipta Reader’s Digest, baik itu dimuat atau tidak 🙁 ah payah!
July 10, 2017
Tulisanmu Asyik Mas…
Perlu belajar banyak tentang itu