Hiburan yang Kian Menyusup ke Ruang Pribadi

0 , Permalink 0

hiburan-privat

Sudah pukul 9 malam lebih. Tapi, Satori belum juga tidur.

Dia malah sibuk dengan Galaxy Tab. Piranti pintar itu dia taruh di dada. Dia sendiri rebahan. Khidmat menonton kartun dari YouTube.

Aku di sampingnya sibuk dengan iPhone. Begitu pula Bunda, sibuk dengan Androidnya. Kami tidur di kasur yang sama. Tapi pikiran kami mengembara ke mana-mana lewat dunia maya.

Di kamar samping, aku yakin Bani juga sedang sibuk dengan iPadnya.

Hal semacam itu memang tak kami lakukan terus menerus. Biasanya paling intens ketika kami mau tidur. Tapi, pada jam-jam tertentu terutama pada saat kami semua di rumah, hal serupa kadang kami lakukan.

Melihat kami sibuk dengan gawai masing-masing menjelang tidur, aku jadi mikir betapa jauhnya perangkat ini mengubah kebiasaan sebuah keluarga. Makin hari, hiburan itu makin memisahkan kami.

Aku merefleksikannya dari pengalaman sendiri.

Ketika masih SD, hiburan kami adalah main bersama teman-teman yang juga tetangga. Main bersama saat malam itu macam-macam. Misalnya palan, delekan, dan lain-lain. Pola hiburan itu sama: harus dilakukan bersama. Tak bisa sendiri.

Hiburan bersama juga kami lakukan ketika ada televisi. Dusun kami termasuk miskin. Tak banyak warga bisa punya televisi. Seingatku saat itu tak lebih dari lima orang.

Karena itu, kalau mau nonton harus bersama. Aku ingat kami harus duduk lesehan di lantai tanah menonton televisi layar hitam putih sambil berdesak-desakan. Bagi orang sekarang sih mengenaskan memang. Tapi, di sana ada interaksi. Ada kebersamaan. Ada kesetekiawanan.

Usai nonton bersama, misalnya saat itu film Ohara, The A Team, CHIP, dan seterusnya, kami kemudian ngobrol tentang film tersebut. Ada diskusi. Ada baku pendapat. Dengan begitu kami saling berdebat dan berpendapat.

Lalu, seiring datangnya kesejahteraan, mulailah televisi menjadi sesuatu yang lebih personal. Tiap rumah punya televisi. Tak ada lagi nonton bareng di rumah tetangga. Malah malu kalau masih nonton nebeng di rumah tetangga.

Tapi televisi yang dinikmati hanya oleh satu keluarga itu masih mendingan. Televisi di ruang tamu masih dinikmati bersama oleh anggota keluarga. Sesekali ada rebutan saluran sehingga mau tak mau harus belajar bertenggang rasa.

Sesekali pula nonton bersama sehingga masih terasa kehangatan sebuah keluarga meskipun disatukan oleh layar kaca.

Kami sendiri di rumah, sejak awal termasuk jarang nonton televisi. Paling hanya 30-an menit saat petang atau pagi hari. Kami memang tak terlalu suka nonton televisi. Ternyata, diam-diam menurutku televisi bisa menghadirkan kebersamaan dibanding gawai-gawai yang personal ini.

Namun, televisi di meja ruang tamu sudah berganti dengan gawai dalam genggaman tiap orang.

Ah, tiba-tiba aku kangen nonton televisi hitam putih sambil duduk di tanah dan berdesak-desakan..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *