Baiklah. Aku mengaku telah melanggar niat hidup lebih sehat.
Semua ini gara-gara nikmat durian yang begitu menggoda. Mereka sungguh terlalu, menggodaku selama perjalanan di Sulawesi Selatan kali ini.
Godaan sudah terasa begitu kami masuk Kabupaten Luwu, sekitar enam jam perjalanan dari Makassar. Para penjual durian memamerkan buah mereka di kanan kiri jalan.
Aromanya menggoda. Kami bertiga di dalam mobil menahan diri untuk tidak berhenti. Perjalanan masih sekitar dua jam lagi.
Tapi, begitulah nafsu. Makin ditahan makin susah dikendalikan. Apalagi setan penggoda bernama buah durian itu berderet-deret sepanjang jalan.
Pada godaan entah yang ke berapa, kami menyerah juga. Kami berhenti di salah satu pedagang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan sebelum Palopo, kota tujuan kami kali ini.
Ibu paruh baya pedagang durian menyediakan tempat duduk lesehan untuk para pembelinya. Jadi kami bisa rehat sambil menyantap durian nan nikmat. Dan, tentu saja murah meriah. Harga per ikat Rp 25.000. Di Denpasar, harga segitu hanya dapat sebiji.
Semula, aku pikir cukup sekali saja makan durian dan melanggar niat hidup lebih sehat. Ternyata, niat memang dibuat untuk dilanggar sendiri.
Pada hari kedua, aku dan dua teman kembali tergoda makan durian. Kali ini di Palopo. Ada beberapa pedagang di dekat hotel tempat kegiatan. Maka, sore hari usai pelatihan, kami pun membelinya. Kembali menyantap tiga durian seharga Rp 50.000 plus bonus sebiji.
Cukup? Aku pikir begitu. Aku mulai khawatir dengan dampak buruk makan durian.
Karena itu aku lalu Googling dengan kata kunci “pengaruh makan durian terhadap kesehatan”. Eh, ternyata tidak ada sama sekali. Tak ada satu pun informasi yang dengan tegas menyatakan bahwa makan durian berdampak terhadap peningkatan kolesterol ataupun asam urat, dua hal yang sejak awal aku takutkan.
Jadi ya hajar lagi pada hari ketiga. Parahnya kali ini ada petani dari Masamba yang bawa satu mobil. Jumlahnya sekitar 30 biji. Satu di antaranya kira-kira sebesar perut raksasa. Besarlah pokoknya.
Dan, ternyata, durian raksasa yang untuk pertama kali aku lihat ini nikmatnya tiada tara. Surga dunia!
Durian itu jenis apa kaden. Aku tidak mau ribet dengan mencari namanya di Google. Warga lokal menyebutnya durian otong. Begitulah kami kemudian menyebut nama durian besar dengan tekstur lembut, rasa legit alias manis sekali, dan aroma yang tak terlalu tajam itu.
Harga durian otong ini berkisar Rp 40-50 ribu per kg. Satu biji beratnya bisa sampai 3-4 kg. Jadi per biji sekitar Rp 150 ribu. Enaknya kali ini kami tak perlu beli karena sudah dibawain oleh petani.
Maka, pada hari keempat di Sulawesi, kami pun dengan sepenuh hati berniat menikmatinya lagi. Aku nodong ke Husein, petani dari Masamba yang bawa durian otong dan akan kami kunjungi.
Begitulah kemudian dosa demi dosa kami lakukan, menyantap nikmat durian otong gratisan.
Masamba di Luwu Utara memang terkenal sebagai pusat durian, termasuk durian jenis otong. Husein, petani kakao yang kami kunjungi, punya 2 hektar lahan berisi durian otong dengan sekitar 2.000 pohon. Dalam satu kali panen bisa dapat Rp 50 juta. “Itu dengan harga paling murah,” katanya.
Jadi, apalah arti sebagian durian otong yang disediakan gratis kepada kami. Malah kami yang menyerah kalah. Tak bisa menghabiskan 10 biji durian otong yang sudah disiapkan. Kami juga menolak setulus hati dan ikhlas ketika dipersilakan membawa sisanya.
Tapi, eeeh, dalam perjalanan pulang dari Masamba, kami sudah kangen lagi sama si otong yang nikmatnya jahanam itu. Sesal kemudian. Kenapa kami tak bawa sisanya saja. Hehehe..
Leave a Reply