Los Angeles, 3 Maret 1991 pukul 12:30 pagi hari.
Hari baru saja berganti ketika Rodney King mengendarai mobil Hyundai miliknya. Buruh bangunan itu selesai menonton pertandingan basket dan minum di rumah temannya. Dini hari itu, dia hendak pulang bersama dua temannya, Bryant Allen dan Freddie Helms.
Jalanan masih sepi ketika mereka memasuki jalan bebas hambatan. King memperdalam injakan gas mobilnya. Spidometernya terus naik dan berputar: 50, 60, 80, 90, sampai 130 km per jam.
Sepasang polisi berpatroli dini hari itu. Ketika melihat mobil melaju melewati batas kecepatan yang diperbolehkan, mereka pun mengejarnya. King makin dalam menginjak pegas mobilnya. Dia takut tertangkap karena sedang menjalani masa hukuman percobaannya.
Mereka pun berkejaran. Meliuk-liuk di jalanan Los Angeles yang masih sepi. Beberapa polisi lain lalu turut mengejar mereka. Tidak hanya mobil patroli milik Satuan Lalulintas California, tetapi juga sebuah helikopter.
Setelah 13 km pengejaran, King terpojok. Dia tertangkap oleh polisi lain yang bertugas dini hari itu. Bersama dua temannya, King disuruh keluar dari mobil. Begitu keluar, tiga orang berkulit hitam itu langsung dipukuli lima polisi berkulit putih tersebut.
George Holiday, warga setempat yang pagi itu masih terjaga, melihat penyiksaan berbau rasial itu dari apartemennya. Holiday merekam penyiksaan itu dengan perekam videonya. Dua hari kemudian dia melaporkan video itu ke pimpinan polisi. Holiday tidak digubris.
Karena kecewa pada polisi, Holiday kemudian menyerahkan rekaman itu ke stasiun televisi lokal, KTLA. Lalu, rekaman penyiksaan berbau rasial itu pun menyebar. Begitu pula dengan kemarahan publik Amerika, negara yang dibangun dengan sejarah berdarah-darah ketegangan rasial.
Kerusuhan rasial pun meledak di Los Angeles dua bulan berselang ketika juri menyatakan bahwa kelima polisi pelaku penyiksaan tidak bersalah. Kaum kulit hitam turun ke jalan memprotes putusan itu. Mereka membakar apa saja yang ditemui di jalan. Menjarah toko dan bahkan membunuh.
Selama enam hari, Kota Malaikat yang Hilang itu membara oleh amarah kelompok kulit hitam yang selama ratusan tahun menjadi warga kelas dua di negara adidaya tersebut. Enam orang mati. Lebih dari 2.300 orang terluka. Setidaknya 12.000 orang ditangkap.
Enam bulan berselang setelah kerusuhan itu, Zak de La Rocha melampiaskan amarahnya terhadap ketegangan rasial tersebut. Vokalis dan gitaris Rage Against the Machine (RATM) itu membuat lagu berjudul Killing in the Name.
RATM sering disebut sebagai band pelopor musik rap metal. Jenis musik ini kemudian diikuti band-band lain, seperti Slipknot, Limp Bizkit, dan Linkin Park.
Namun, Zack berbeda dengan musisi lain dari tiga band itu. Dia tak sekadar musisi. Dia juga aktivis kiri. Salah satu contoh pembelaannya yang paling terkenal adalah pada Mumia Abu-Jamal, aktivis cum-jurnalis yang dihukum mati atas tuduhan pembunuhan terhadap polisi.
Zack juga secara terbuka mendukung Zapatista, gerakan radikal di Meksiko bagian selatan. Dia bahkan disebut-sebut sebagai sosok ideolog Zapatista yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik balaklava.
Dengan latar belakang aktivisme itu, lagu-lagu Zack berbau sangat kiri. Dan vulgar.
Begitu pula dengan Killing in the Name yang dibuat sebagai respon terhadap maraknya rasisme di negaranya sendiri. Lagu ini penuh umpatan Zack terhadap kongkalikong polisi kulit putih dengan gerakan ultrafasis Klu Klax Klan. Lagu berdurasi 4:17 menit ini dipenuhi 17 kali umpatan kata “fuck” tanpa sensor.
Namun, umpatan bagi Zack bukanlah kata-kata jorok, melainkan pelampiasan kemarahannya pada ketidakadilan terhadap kelompok minoritas dan represi terhadap aktivis seperti Rodney King dan Mumia Abu-Jamal.
Killing in the Name adalah kemarahan RATM terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi kulit putih terhadap kaum minoritas kulit hitam. “Some of those that work forces, are the same that burn crosses,” teriaknya. Dia merujuk pada polisi yang menggunakan kekerasan dan penyiksaan yang juga anggota KKK.
Tak hanya melalui lirik lagu, RATM juga memprovokasi lewat lagu-lagunya dalam setiap konser. Salah satu momen bersejarah adalah ketika dia membakar bendera Amerika Serikat dalam konser Woodstock pada 1999 sebagai protes.
RATM sering tampil dengan membawa bendera Zapatista dan gambar Che Guevara.
Bagi banyak orang, RATM adalah contoh bagaimana musik tidaklah sekadar asyik masyuk dengan irama, nada, dan kata-kata. Musik adalah alat perjuangan. Provokasi mau tak mau menjadi salah satu bagian darinya.
Mari kembali ke Indonesia. Sejarah perjuangan melawan kolonialisme tentu tak bisa dipisahkan dari lagu-lagu provokatif semacam Maju Tak Gentar. Pada zaman Orde Baru, lagu-lagu Iwan Fals tentu menjadi lagu kebangsaan bagi mahasiswa yang turun ke jalan.
Tentu saja lagu-lagu itu provokatif. Seperti juga umpatan Zack dalam Killing in the Name. Namun, provokasi itu menjadi lazim ketika berada pada situasi yang lalim. Umpatan, cacian, atau sumpah serapah adalah ekspresi manusiawi ketika muak terhadap ketidakadilan.
Menjadi aneh kemudian saat ini muncul Rancangan Undang-Undang Permusikan yang antara lain mengatur larangan proses kreasi yang memprovokasi. Pasal 5 RUU ini misalnya menyatakan dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang memprovokasi, membawa pengaruh negatif budaya asing, dan merendahkan harkat martabat manusia.
Masalahnya, sebagaimana UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang lentur melebihi karet itu, RUU ini juga bisa menjerat siapa saja karena sangat multitafsir. Provokatif jika menghasut dan menyebar kebencian sih wajar jika dilarang. Namun, jika provokasi itu ekspresi protes terhadap hal-hal tidak adil, tentu musik bisa menjadi media yang sangat efektif.
Karena itu jika nanti kemudian pasal-pasal karet dalam RUU Permusikan itu tetap disahkan, maka umpatan Zack dalam Killing in the Name mungkin menjadi relevan: Fuck you, I won’t do what you tell me!
Leave a Reply