Masak sih Hubungan Harus Didefinisikan?

0 Permalink 0

“Aku tak percaya dia, Ton.

Kamu ingin (masih) tahu tentang apa yang terjadi? Aku menunggunya. Kami bicara. Dia paksa aku untuk ikut dengan dia. Seperti biasa. Biar lebih leluasa menganiaya. Aku tidak diperbolehkannya memanggillmu.

“Panggil Anton atau aku tebas kamu di sini!”

Lalu katanya, “Bangun! Diam! Dan ikut!” dengan menghunus badik karatan itu.

Ton, aku ketakutan. Sangat! Ah, tak bisa aku lukiskan.

Aku sempatkan buat pesan untukmu. Aku takut tidak berjejak.”

Seorang teman perempuan menuliskan pesan itu padaku hampir 20 tahun lalu. Dia menuliskannya di lembar kertas putih dengan tulisan tangannya yang tegas. Dia penikmat sastra dan lihai meramu kata-kata.

Kami berteman akrab. Lebih dari sekadar teman. Dia perempuan. Aku laki-laki. Namun, kami sekadar teman. Tidak ada romantika di antara kami. Malah, sering kali kami saling berbagi cerita tentang romansa kami masing-masing.

Pesan yang dia tulis itu hanya salah satunya. Bagaimana saat itu, sahabat perempuan ini seringkali menulis pesan padaku tentang apa yang dia alami bersama pacarnya. Sekali waktu, dia menuliskan wasiat. “Jika aku tidak kembali dan mayatku tidak bisa ditemukan, kamu tahu kepada siapa kamu harus bertanya..”

Menggugurkan Kandungan

Di lain waktu, ada juga teman perempuan dengan cerita dan hubungan berbeda. Tentu saja kami tidak pacaran apalagi hubungan di belakang pasangan masing-masing. Kami dekat karena sama-sama pengurus organisasi kampus.

Namun, satu hari tiba-tiba teman perempuan ini datang dan memelukku sambil menangis. Dia mengaku takut karena ada cowok yang menyatakan cinta dan dia tidak menerimanya.

“Masak dia mengancam mau bunuh diri di depanku kalau aku tidak menerimanya,” katanya sambil terisak.

Lanjutan ceritanya, hubungan teman perempuan ini sama yang menembaknya pun jadi renggang setelah si perempuan menolak cintanya.

Itu belum apa-apa. Ada cerita lebih dramatis lagi.

Seorang teman yang tidak dekat-dekat amat pernah tiba-tiba menelponku. Lalu, di ujung telepon saja, dia bertanya, “Anton, gimana caranya menggugurkan kandungan? Aku takut sekali..”

Aku bingung karena belum pernah melakukannya. Juga karena tidak tahu untuk apa dia bertanya begitu. “Kamu hamil?” tanyaku.

“Bener gak, sih, kalau minum Coca-Cola dicampur nanas bisa menggugurkan kandungan?” dia tidak menjawab, tetapi justru bertanya.

“Waduh. Coba saja. Semoga berhasil,” jawabku sekenanya.

Telepon putus. Itu komunikasi terakhir kami sampai saat ini.

Hubungan Rumit

Cerita tentang teman-teman perempuan itu muncul begitu saja ketika topik menulis kali ini adalah tentang perempuan. Tidak tahu kenapa muncul begitu saja, tetapi mungkin karena sejak lama aku ingin membagi cerita-cerita itu.

Untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan dewasa itu satu hal lumrah. Bukan sebagai sepasang kekasih atau pasangan, tetapi lebih dari teman.

Bagi sebagian orang ini seolah tidak mungkin. Ah, masak sih ada hubungan baik antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas teman? Ah, masak, sih, ga ada romansa? Ah, masak sih bisa?

Dalam beberapa contoh sih itu hal yang sangat mungkin. Saling peduli tanpa harus saling memiliki. Saling menyayangi tanpa harus menjadi suami istri. Tidak ada juga niatan untuk berhubungan lebih dari sekadar teman atau sahabat meskipun sangat dekat.

Bisa jadi karena hubungan manusia bisa jadi lebih kompleks dari definisi-definisi yang ada. Pacar, istri, sahabat, dan seterusnya hanya definisi-definisi yang paling mudah dipahami. Padahal, hidup toh terlampau kompleks jika dibatasi oleh definisi.

Gitu kali ya?

*Tulisan ini dibuat di kelas menulis 2×2 yang mengangkat tema perempuan.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *