Jelek Sekali Nasib selama Januari

0 Permalink 1

Kresek. Kresek. Kresek. Bret. Bret. Bret. Mati!

Sepeda motor yang sudah terdengar kelelahan itu pun akhirnya mati ketika kami hendak pulang petang itu. Sejak berangkat, dia memang sudah memberikan tanda-tanda. Mesinnya ribut saat baru sekitar setengah jam perjalanan.

Ini tidak biasa.

Biasanya suara mesin itu lembut. Halus. Namun, pagi itu, ketika kami dalam perjalanan menuju Karangasem, mesinnya terdengar agak berbeda. Ada gangguan meskipun pada awalnya tidak terlalu terasa.

Tarikannya juga agak loyo. Padahal biasanya, sepeda motor yang sudah sering menjelajah pelosok Bali ini asyik-asyik saja ketika ditunggangi.

Sadar ada sesuatu yang tidak beres, kami berhenti di salah satu bengkel di ujung Jalan By Pass Ida Bagus Mantra. Begitu mendengar suara motor, montir langsung tahu. Olinya habis. Mesin ada yang rusak.

Setelah oli diisi, dia meyakinkan kami kalau motor masih bisa dipakai. Firasatku berkata lain. Pasti akan kenapa-kenapa motor ini di tengah jalan nanti. Suaranya masih terdengar mengganggu dan aku merasa masih ada yang belum beres dengan mesinnya.

Cuma karena Pak Montir bilang motornya masih bisa dipakai, kami lanjut saja.

Hari itu perjalanan kami menuju medan lumayan berat, kaki Gunung Agung sebelah timur. Kami hendak liputan dampak erupsi Gunung Agung sehari sebelumnya sekaligus ombak besar yang menghantam desa-desa pesisir tetangganya.

Perjalanan berlanjut. Kami ke tiga lokasi di kaki gunung dengan jalan naik turun. Bertemu warga yang terkena abu vulkani. Wawancara kepala desa. Lalu mampir Amed, melihat nelayan korban gelombang besar.

Pekerjaan sudah. Waktunya pulang. Motor masih terasa ngos-ngosan.

Di tengah perjalanan, ketika jaraknya masih sekitar dua jam perjalanan dari rumah, motor itu pun mati. Total. Tidak bisa dihidupkan dengan pengungkit kaki, apalagi tombol tangan.

Hari sudah mulai petang. Sekitar pukul 17.00 WITA.

Kami terpaksa menuntun motor yang persis di samping tempat kami berhenti. Bengkel sudah tutup. Jalan lagi ke bengkel berjarak sekitar 100 meter dari situ. Sudah tutup pula. Untungnya pemilik bengkel juga tinggal di sana. Jadi dia masih bersedia memeriksa motor.

“Mesinnya hancur. Harus dibongkar. Paling tidak dua hari baru selesai. Itu juga kalau mesinnya ada,” kata si montir.

Tidak ada pilihan lain. Mesin motor itu memang hancur. Harus dibongkar.

Setelah menimbang-nimbang, kami putuskan untuk mengangkut saja sepeda motor itu dengan mobil bak. Biayanya Rp 450 ribu setelah tawar menawar. Itu sudah harga paling murah setelah tiga kali tanya sopir pikap lainnya.

Karena jauhnya lokasi, kami harus menunggu hampir 2 jam sampai mobil pengangkut tiba. Sekitar 1,5 jam kemudian kami pun tiba di rumah dengan mobil pikap dan sepeda motor yang diangkut.

Esoknya motor terpaksa dituntun lagi ke bengkel. Dua hari kemudian dia baru selesai diperbaiki. Biayanya lebih dari Rp 1 juta. Mati cang!

Tragisnya nasib motor itu melengkapi tragedi lain sekitar dua minggu sebelumnya.

Waktu itu kami sedang liputan di Ubud dan sekitarnya. Pas lagi asyik memotret sapi-sapi yang dikeramatkan di Desa Taro, KecamatanTegallalang, Gianyar, mendadak fokus lensaku macet. Tidak bisa dipakai sama sekali.

Teropongnya masih bisa maju mundur, tetapi gambar sepenuhnya blur. Gambar hasilnya pun terlihat hancur. Hanya samar-samar serupa objek yang terlihat oleh mata orang baru bangun tidur sepuluh jam.

Sialan!

Motor rusak. Lensa rusak. Dua alat produksi tak berfungsi selama Januari yang menyebalkan ini. Oh, pertanda apakah ini?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *