Rabu lalu, honorku pun dikirim. Aah, inilah enaknya bekerja untuk media asing. Kerja sebentar, duitnya buesar. Kirim honornya juga hanya perlu waktu seminggu.
Kali ini aku kerja untuk kontributor Financial Times. Kontributornya di Jakarta tiba-tiba kirim SMS ke aku sekitar seminggu sebelumnya. Dia bilang dapat kontakku dari teman di Al-Jazeera di Jakarta. Teman baru ini minta tolong aku bantu untuk cari informasi tentang rencana pembangunan lapangan golf di Desa Bugbug dan Perasi, Karangasem.
Semula dia mengatakan akan memberi honor Rp 2 juta untuk pekerjaan ini. Eh, ternyata kemudian nambah jadi Rp 3 juta. Aku kerja tak lebih dari tiga hari: satu hari riset, satu hari wawancara per telepon, satu hari reportase lapangan. Laporan yang aku buat, dalam bahasa Inggris acak adut, sekitar enam halaman.
Jadi anggaplah per hari dibayar Rp 1 juta atau Rp 500 ribu per halaman. Bagi orang lain mungkin kecil. Tapi bagiku ini nilainya besar. Atau malah jauh lebih besar dibanding kalau bekerja untuk media lokal.
Angka itu hanya sekadar gambaran betapa media asing memang jauh lebih menghargai wartawan dibanding media nasional. Terutama dari sisi materi. Sekali-kali mari jadi wartawan matre. Hehe.. Mari membandingkan kerja untuk media asing sama media lokal dari besarnya honor.
Contoh lainnya adalah ketika aku membantu The Australian, koran terbitan Australia. Tugasku hanya membantu wartawannya kalau liputan di Bali. Bahasa kerennya fixer. Bahasa gaulnya inlander. Soale bekerja untuk orang asing. Hehehe..
Tugasku persis wartawan harian lainnya. Mencari narasumber, mewawancarai, mencari dokumen, dan seterusnya. Tapi laporanku hanya lisan pada si wartawan itu. Untuk kerja semacam ini, aku dibayar Rp 700 ribu per hari. Nilai ini sama dengan gaji wartawan yang baru bekerja di media lokal.
Untuk fotografer, nilainya lebih gila lagi. Beberapa teman yang motret untuk media asing bisa dibayar sampai Rp 2 juta per hari. Yap, dua juta per hari!
Tapi pekerjaan seperti ini tidak selalu ada. Tergantung isu yang lagi dicari media Aussie. Pas waktu aku bantu dulu sih lagi rame soal Schapelle Corby, bom Bali 2005, Leslie, Bali Nine, dan seterusnya. Makanya jadi kayak panen raya. 😀
Begitu isu-isu itu sudah sepi, sepi pula pesanan untuk jadi fixer. Kere ndadak! Karena ini pula maka aku pikir susah juga kalau menggantungkan hidup sepenuhnya dari pekerjaan sebagai fixer.
Sekarang bandingkan dengan bekerja di media lokal. Itung-itung sekalian nulis tentang berapa sih rata-rata honor menulis di media massa.
Pengalamanku ketika bekerja jadi koresponden GATRA di Bali, aku hanya dibayar sekitar Rp 100 ribu per laporan sekitar tiga halaman. Dalam sebulan, paling banyak Rp 1 juta plus honor basis Rp 400 ribu. Berarti ya paling mentok Rp 1,5 juta per bulan.
Itu kalau sudah ngoyo banget. Kadang bisa jadi tidak ada laporan sama sekali dalam sebulan. Soale sudah usulan ke Jakarta, eh, tidak diterima.
Karena itu, jalan keluarnya adalah menulis juga untuk media lain. Usulan yang tidak diterima itu dikirim saja ke media lain. Misalnya waktu itu ke Kompas Muda, halaman untuk mahasiswa. Honor tulisan lepas di Kompas antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu.
Kalau nulis ke Kompas biasanya dalam bentuk feature, maka ke Media Indonesia lain lagi. Awal-awal aku kirim tulisan lepas ke sini dalam bentuk profil. Ada dua tulisan: satu tentang profilnya itu sendiri, satunya lagi testimoni orang lain tentang profil utama. Untuk tulisan sekitar empat halaman ini aku dibayar Rp 700 ribu. Ini honor terbesar dibanding media harian lain.
Selain nulis profil, aku biasanya nulis resensi buku. Honornya sekitar Rp 300 ribu. Ini sama dengan honor tulisan opini di Jawa Pos pada zaman masih ada rubrik khusus untuk mahasiswa dan aktivis. Sekarang rubrik ini sudah hilang.
Di antara sekian media tersebut, The Jakarta Post adalah media yang sampai saat ini masih menerima tulisan lepasku. Honor tulisan feature sekitar tiga halaman dibayar Rp 300 ribu. Kalau sampai satu halaman koran bisa Rp 700 ribu. Tapi aku baru sekali bisa nulis sampai satu halaman ini. Sisanya hanya nulis feature pendek-pendek. Maklum, wartawan males. 🙂
Paling enak sih nulis untuk majalah Playboy Indonesia ketika masih ada. Soale aku bisa nulis dalam bentuk indepth report, yang susah banget bisa masuk di media lain. Liputannya memang agak melelahkan karena sampe berminggu-minggu. Tulisanku soal petugas pertukaran jarum suntik steril untuk pengguna heroin malah berbulan-bulan. Tapi ya honornya memang besar Rp 3 juta.
Oya, itu semua untuk media nasional. Bagaimana dengan media lokal? Pengalamanku di media lokal sih hanya pernah nulis di Bali Post. Waktu itu, sekitar 1999, dibayar Rp 25 ribu untuk satu artikel opini. Tapi karena ini tulisanku pertama yang dibayar oleh media, waaah, tentu saja aku senang luar biasa.
Di atas semuanya, melihat tulisan sendiri dimuat di media massa memang tidak bisa dinilai dengan angka berapa pun.
Leave a Reply