Dari CGI untuk Aceh dan Bali

0 , Permalink 0

Dalam pertemuan yang tertutup untuk wartawan di Jakarta Room Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua, Bali, kemarin isu yang dibahas tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Sekretaris Indternational NGO Forum on Indonesia Development (INFID) Binny Buchory, belum ada upaya untuk melihat bagaimana Indonesia bisa mendorong adanya perubahan sikap terhadap utang. Binny yang hadir sebagai observer bersama delapan aktivis NGO lainnya itu mengatakan pembicaraan masih seputar bagaimana meningkatkan investasi, devisit anggaran. “Sedangkan kebijakan-kebijakan macropolicy, program penjualan aset-aset, dan pencabutan subsidi malah tidak dibahas,” kata Binny.

Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pun mengatakan hal-hal yang sudah jelas tidak terlalu berguna. “Kalau hanya ngomong tentang konsep pembangunan, Indonesia sudah memiliki banyak orang pinter. Kita tidak perlu CGI untuk itu,” tegas Kwik.

Toh, tetap saja ada yang lain dari biasanya. Salah satu hal lain yang dibahas dalam Pertemuan ke-12 Consultative Group on Indonesia (CGI) di Bali pada Selasa-Rabu pekan ini adalah persoalan recovery perekonomian di Bali dan pemulihan kondisi Aceh.

Karena itu, dua propinsi ini mengirim utusan khusus untuk hadir di pertemuan CGI. Dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hadir delegasi yang dimpimpin gubernur Abdullah Puteh. Sedangkan dari Bali delegasi dipimpin wakil gubernur bidang ekonomi I Gusti Bagus Alit Putra yang didampingi Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Kadiparda) Bali I Gede Pitana dan Kepala Badan Prencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bali Putu Sujana Cahyanta.

Saking pentingnya agenda tentang dua propinsi ini, keduanya diberikan kesempatan mempresentasikan makalahnya pada agenda pertama hari pertama. Pembahasan tentang keduanya bahkan molor hingga setelah makan siang hari pertama. Pas istirahat, wagub Bali, Kadiparda, dan Kepala Bappeda sampai mengadakan peretmuan khusus di luar ruang pertemuan.

Menurut Alit Putra, Bali menghadapi persoalan serius dengan ekonominya pasca-ledakan bom di Kuta Oktober tahun lalu. Akibat penurunan jumlah turis yang berkunjung ke Bali, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan. Tingkat penjualan produk-produk seperti sovenir dan kerajinan pun turun. “Padahal selama ini pasokan itu datang tidak hanya dri Bali tapi juga dari Jawa dan Lombok,” kata Alit Putra.

Persoalan Bali pun menjadi isu yang dibahas oleh negara-negara peserta secara multilateral. Bantuan pun siap dikucurkan melalu program bantuan terutama untuk kecamatan. “Seharusnya Bali tidak menerima, tapi karena terjadi tragdi maka dialokasikan untuk Bali,” kata Mahendra Siregar, Staf Ahli Menteri Negara Pembangunan Nasional. Sayangnya, Alit Putra belum bisa menjelaskan besarnya bantuan itu. Sedangkan Kepala Bappeda Bali Putu Sujana Cahyanta pun belum bisa memberikan keterangan perihal akan dipergunakan untuk apa saja bantuan tersebut.

Persoalan lain yang dibahas adalah tentang pemulihan kondisi Aceh. Utangan dari CGI salah satunya akan digunakan untuk pembangunan jalan lintas Aceh yang lebih dikenal sebagai Program Penanganan Ruas-ruas Jalan “Ladia Galaska”. Jalan sepanjang 488 km ini melintasi Meulaboh-Betong Ateuh-Takengon-Blangkejeren-Peurelak.

Dalam pertemuan di Bali ini, pemda NAD mengharapkan adanya Rp 1,5 triliun bantuan dari CGI. Rencana pembangunan jalan ini sendiri sudah sejak 2002 lalu. Pemda NAD memasukkan biaya pembangunannya dalam anggaran 2002 yang berasal dari DIP/DIPP/SKO. Untuk memintanya gubernur NAD berkirim surat pada Kepala Bappenas pada 20 April 2002 dengan nomor surat 903/14861.

Jalan ini akan menghubungkan pantai barat dan pantai timur Aceh. Artinya proyek ini akan membedah kawasan lindung Taman Nasional Gunung Leuser dan Kawasan Ekosistem Leuser. Proyek ini pun mendapat tentangan dari berbagai kelompok pecinta lingkungan seperti Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) dan komunitas internasional. “Pembangunan jalan itu telah melanggar berbagai ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan, lingkungan hidup, tata ruang, dan hukum psotif lainnya,” kata Koordinator SKEPHI Indro Tjahyono.

Karena itulah misi khusus gubernur NAD untuk minta bantuan pada sidang CGI kali ini mendapat tudingan miring dari SKEPHI. Menurut Indro Tjahyono dana pinjaman itu hanya akan merusak Aceh. Sebabnya itu tadi, melewati kawasan ekosistem Leuser yang sedang dipertimbangkan kawasan World Heritage Site (Kawasan Warisan Dunia).

Selain itu, pembangunan jalan Ladia Galaska justru akan menimbulkan fragmentasi kawasan, penggundulan hutan dan pencurian kayu, kerusakan daerah angkapan air, dan sistm tata air. “Adanya jalan di kawasan hutan lindung akan memudahkan pelaku illegal logging untuk menjual hasil penebangannya,” tuding Indro. Menurutnya pinjaman tersebut lebih baik digunakan untuk pemulihan Aceh khususnya akibat konflik seperti masalah kesehatan, pendidikan, dan sarana publik lain yang hancur akibat kekerasan konflik.

Untuk membahas rencana pembangunan jalan Ladia Galaska ini, Agustus tahun lalu sudah ada pertemuan tiga menteri yaitu Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. Dalam pertemuan yang berlangsung di ruang rapat Menteri Kehutanan itu dihasilkan beberapa kesepakatan antara lain bahwa pembangunan jalan itu merupakan program lanjutan dari program pembangunan 16 ruas jalan tembus propinsi NAD yang sudah dimulai sejak 1990. Namun karena adanya protes dari berbagai kalangan maka untuk pembangunan jalan-jalan baru berkaitan dengan alih fungsi hutan akan dibentuk tim terpadu yang akan melakukan kajian alih fungsi tersebut.

Toh, menurut Indro, hingga saat ini belum ada tim kajian tersebut. Bahkan rencana itu tetap berjalan. Apalagi dengan turunnya bantuan dari CGI.

Comments are closed.